CIREBON – Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman (DPRKP) tak kunjung menindaklanjuti pengajuan pembayaran kompensasi untuk penataan kawasan kumuh Kelurahan Panjunan. Padahal, tim terpadu sudah menyepakati mekanisme ganti rugi menggunakan uang kerohiman.
Informasi yang diterima Radar Cirebon, mekanisme kerohiman disepakati pada 17 September. Sehingga mekanisme bantuan sosial (Bansos) yang sebelumnya sempat menjadi opsi, urung ditempuh.
Saat dihubungi, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DPRKP, Drs Sumantho tak bersedia memberikan jawaban, mengapa tak kunjung menempuh pengajuan untuk pembayaran kompensasi kepada warga terdampak penataan (WTP).
Sehingga proyek tersebut tak kunjung bisa berjalan. Mengingat mekanisme ganti rugi adalah pintu masuk untuk berjalannya proses penataan.
Diwawancarai secara terpisah, Kepala Bidang Kawasan Permukiman DPRKP, Khaerul Bahtiar juga enggan memberikan penjelasan. “Untuk skema pembayaran itu kewenangan pimpinan,” ujar Khaerul, kepada Radar Cirebon, Rabu (30/9).
Disinggung terkait dengan DPRKP yang masih ragu dengan mekanisme pencairan, Khaerul tidak bersedia menjawab secara spesifik. Namun dia mengakui, persoalan kerohiman bagi warga terdampak di Kelurahan Panjunan masih dilematis.
Meski status bantaran Sungai Sukalila adalah tanah negara, namun belum tercatat sebagai aset Pemerintah Kota Cirebon. Di sisi lain, Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarun (BBWS Cimancis) sebagai pemilik kewenangan, juga tidak mencatatkan kawasan tersebut sebagai asetnya.
BBWS Cimancis hanya bertindak sebagai sebagai pengelola. Begitu juga dari Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR) dan Kementerian ATR-BPN yang belum memberikan kejelasan. “Jadi ini masih sumir. Perlu hati-hati, karena ini menggunakan uang negara,” kata Khaerul.
Pemerintah Kota Cirebon sesungguhnya telah menyiapkan sedikitnya Rp1,4 miliar untuk keperluan dana kerohiman tersebut. Mulanya, skema bansos dipilih karena dianggap dapat mempercepat proses pencairan. Hanya saja ada masalah lain yakni, besaran penerima kompensasi maksimal hanya Rp15 juta. Sedangkan pembayaran besaran ganti untung yang diterima warga dasarnya adalah appraisal.
Khaerul menarik persoalan ini ke belakang. Mestinya, kawasan tersebut ditertibkan sebelum menjadi polemik seperti sekarang. Sehingga ketika akan ditata, malah menjadi sulit.
“Itu aset siapa? Kita mengeluarkan uang lalu pertanggung jawabannya bagaimana?” tanya dia, seraya menegaskan bahwa skema pembayaran yang dipilih adalah kewenangan pimpinan.