WASHINGTON – Pemerintah Amerika Serikat (AS) memutuskan, untuk memblokir semua impor minyak kelapa sawit dan produk minyak sawit yang diproduksi oleh perusahaan pertanian yang berbasis di Malaysia, FGV Holdings Berhad mulai Rabu (30/9) waktu setempat.
Minyak sawit dari produsen utama Malaysia tersebut, selama ini masuk ke rantai pasokan merek makanan dan kosmetik hingga biofuel. Berdasarkan data CBP, impor minyak sawit AS tembus US$ 147 miliar sejak Agustus 2018, menurut CBP.
Dilansir dari Associated Press (AP), Kamis (1/10), Kantor Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS menyatakan, bahwa pemblokiran dilakukan AS karena menemukan adanya indikator kerja paksa dalam tenaga buruh, melibatkan anak-anak juga termasuk pelanggaran lainnya seperti kekerasan fisik dan seksual.
Asisten Komisaris Eksekutif CBP, Brenda Smith mengatakan pihaknya sudah menemukan bukti nyata atas praktik kerja paksa yang dilakukan perusahaan tersebut.
“Bukti dikumpulkan selama satu tahun, salah satunya didapat dari investigasi Associated Press. Investigasi menemukan eksploitasi tenaga kerja kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia, termasuk pekerja anak, perbudakan dan pemerkosaan,” kata Smith.
“Kami akan mendesak komunitas pengimpor AS lagi untuk melakukan uji tuntas. Perusahaan harus melihat rantai pasokan minyak sawit mereka,” ujarnya.
“Kami juga akan mendorong konsumen AS untuk bertanya tentang dari mana produk mereka berasal.” imbuhnya.
Malaysia adalah produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia, bersama dengan Indonesia, 2 negara ini mendominasi perdagangan global, dengan mampu memproduksi 85 persen dari pasokan 65 miliar dollar AS.
Minyak sawit dan turunannya dari FGV, dan Felda milik Malaysia yang memiliki hubungan dekat, masuk ke rantai pasokan perusahaan multinasional besar.
Mereka termasuk Nestle, L’Oreal, dan Unilever, menurut daftar pemasok dan pabrik minyak sawit yang paling baru diterbitkan perusahaan. Beberapa bank besar dan lembaga keuangan Barat tidak hanya mengalirkan uang secara langsung atau tidak langsung ke dalam industri minyak sawit, tetapi mereka juga memiliki saham di FGV.
Smith mengatakan agensi tersebut melakukan penyelidikan selama setahun dan menyisir laporan dari pelapor nirlaba dan media, termasuk penyelidikan AP.