PARIS – Pemerintah Prancis memberlakukan status darurat tingkat tinggi setelah insiden penikaman di sebuah gereja di kota Nice. Sebanyak 7.000 tentara dikerahkan untuk bersiaga di jalan, tempat ibadah dan sekolah. Pemberlakuan status darurat itu diumumkan oleh Perdana Menteri Prancis Jean Castex.
Penikaman terjadi pada Kamis (29/10/2020) pagi waktu setempat. Tiga orang tewas dalam serangan teroris terbaru di Prancis. Insiden ini hanya berselang dua pekan pasca tewasnya seorang guru sekolah usai membahas karikatur Nabi Muhammad di kelas kebebasan berekspresi.
“Sistem peringatan keamanan nasional Vigipirate negara itu akan diberlakukan pada level darurat serangan tingkat tertinggi dari protokol keamanan,” kata Castex dikutip dari AFP, Jumat (30/10).
“Pemerintah Prancis akan memberi respons yang tegas atas serangan ini,” sambungnya.
Walikota Nice Christian Estrosi lewat akun Twitter mengatakan, bahwa insiden itu merupakan serangan teror. “Saya dapat mengonfirmasi semuanya, biarkan kami berpikir ini adalah serangan teror di Notre-Dame Basilica,” ujarnya.
Presiden Prancis Emmanuel Macron turut mengutuk tindakan teror tersebut. Dia menyebutnya bentuk kegilaan. Macron lalu menyatakan, Prancis akan selalu melawan paham ekstremisme dan terorisme.
“Kegilaan teroris Islam. Prancis tetap akan mempertahankan nilai-nilai sekularisme” kata Macron.
“Sekali lagi, pagi ini, tiga warga kami menjadi korban di Nice dan sangat jelas bahwa Prancis sedang diserang,” imbuhnya.
Sementara itu, Perwakilan Tinggi PBB untuk Aliansi Peradaban, Miguel Angel Moratinos, menyeru dunia untuk saling menghormati semua agama dan kepercayaan. Menurut dia, sikap ini penting guna mengembangkan budaya persaudaraan dan perdamaian.
Moratinos menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya ketegangan dan contoh intoleransi yang dipicu oleh majalah mingguan Prancis Charlie Hebdo yang menerbitkan karikatur satire yang menggambarkan Nabi Muhammad.
“Karikatur yang menghasut juga telah memprovokasi tindakan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersalah, yang diserang karena agama, kepercayaan atau etnik mereka,” kata Moratinos.
Moratinos menggarisbawahi, bahwa penghinaan terhadap agama dan simbol-simbol suci agama telah memprovokasi kebencian dan ekstremisme kekerasan. Kondisi itu pada gilirannya mengarah pada polarisasi dan fragmentasi masyarakat.
Moratinos pun menegaskan, kebebasan berekspresi harus dilakukan dengan cara yang sepenuhnya menghormati keyakinan agama dan prinsip semua agama.