Sudah berjuang, disepelekan. Dituduh yang bukan-bukan. Tak jarang stigma itu membuat perasaan hancur. Bertaruh nyawa seolah tak lagi berharga.
Ade Gustiana, Cirebon
YOGI Sumedi Skep Ns MMRS tak kuasa menahan haru di balik wajah sendu yang terhalang masker. Kepala ruang isolasi Teratai RSD Gunungjati itu teringat rekan sejawat yang baru saja gugur. Yaitu perawat anastesi Tatang Koswara dan terakhir adalah Rohaetin AMd Kep yang terkonfirmasi positif corona dalam kondisi hamil.
Itu saja sudah membuat terpukul. Ditambah kabar yang beredar di luaran yang menyebut rumah sakit sering mengkovidkan pasien. “Covid itu ada. Bukan kami yang mengcovidkan. Dua rekan kami meninggal karena covid,” ujarnya, meyakinkan masyarakat jika Covid-19 benar ada.
Belum lagi stigma sebagai seorang Nakes yang kontak erat dengan pasien positif. Laki-laki 36 tahun itu merasakan langsung. Lingkungan tempat tinggal mengucilkan. Sampai-sampai ia diimbau untuk tidak melakukan salat jemaah di masjid tempat tinggalnya. Padahal ia seorang DKM di masjid tersebut. Namun ia tetap menerima.
“Setelah memberikan pemahaman, Alhamdulillah sudah mengerti dan kembali diperbolehkan (salat, red),” katanya, kemarin.
Yogi bertugas sebagai penyambung lidah antara pasien yang dirawat dengan keluarga pasien yang hendak membesuk. Tentu, itu karena keluarga tak boleh bertemu secara langsung. Pesan dari keluarga atau pasien diamanatkan kepada mantan perawat IGD RSDGJ itu. Setiap hari ia sangat lekat dengan APD level tiga seperti hazmat dan masker N95.
Kewajiban akan profesi yang menguatkan pria kelahiran 11 Oktober 1984 tersebut. Ia mengaku, tingkat stres seorang Nakes sangatlah tinggi. Apalagi ketika melihat trend penambahan pasien yang terus mengalami peningkatan. Jumlah pasien meninggal dan klaster baru yang terus bermunculan.
Sementara dokter spesialis penyakit dalam RSD Gunungjati dr Oom Nurrohmah SpPD memilih mengedukasi secara langsung orang yang beranggapan RS mengada-ngada dalam memvonis pasien covid. Namun ia sadar tak semua orang bisa diajak untuk duduk bersama. Dokter Oom pun ikut merasa terpukul jika ada stigma tersebut. “Kalau mereka mengerti, jadi kepuasan tersendiri,” tuturnya.