“Masyarakat atau keluarga yang menolak biasanya menganggap hasil diagnosa dari rumah sakit tidak valid. Masyarakat ada yang berpikir jika jenazah yang meninggal sengaja di-covidkan. Lalu beredar isu dan timbul penolakan. Tidak sekali dua kali kita menemui penolakan, sangat sering malah. Rata-rata menolak dimakamkan secara protokol kesehatan,” katanya.
Dalam satu hari, tim bisa 4 sampai 5 kali memakamkan korban yang meninggal karena Covid-19. Untuk kasus tertinggi, sambung Riza, terjadi pada bulan September 2020. Ada 16 kasus di RSUD Waled dan 8 kasus di RSUD Arjawinangun.
“Paling banyak dalam sehari kita bisa memakamkan 4 sampai 5 kali. Untuk kasus tertinggi terjadi di bulan September 2020,” bebernya.
Namun diakuinya, kondisi tersebut saat ini sudah mulai berubah. Tim pemulasaran sangat terbantu dengan dilibatkannya Satgas Penanganan Covid-19 di tingkat kecamatan dan desa. Bahkan dari MUI juga dilibatkan.
“Pihak keluarga sebenarnya diizinkan jika ingin melihat proses penyucian jenazah. Keluarga juga dipersilakan menyolatkan jenazah. Kita berikan APD untuk perwakilan keluarga yang ingin mengikuti proses pemulasaran dan pemakaman,” katanya.
Kasus kematian akibat Covid-19 yang terus terjadi di Kabupaten Cirebon, harus menjadi perhatian serius bagi seluruh kalangan dan elemen masyarakat di Kabupaten Cirebon. Agar waspada dan selalu menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
“Covid-19 ini nyata. Kami bahkan pernah dari pagi sampai malam hari memakamkan jenazah pasien yang terpapar Covid-19. Ini bisa kita tekan jika semua pihak mengikuti dan menaati aturan pemerintah untuk melaksanakan protokol kesehatan secara ketat,” ungkapnya. (*)