WHO Tak Rekomendasikan Remdesivir
JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan, obat remdesivir tidak digunakan untuk mengobati pasien Covid-19. Menurutnya, obat itu “tidak memiliki efek penting” terhadap peluang bertahan hidup.
Kelompok Pengembangan Pedoman WHO (GDG) dari para ahli internasional mengatakan, tidak ada bukti berdasarkan data yang tersedia saat ini bahwa penggunaan obat itu akan meningkatkan hasil krusial bagi pasien.
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara lain telah memberikan persetujuan sementara untuk penggunaan remdesivir, setelah penelitian awal menunjukkan obat itu dapat mempersingkat waktu pemulihan pada beberapa pasien Covid-19.
Dilansir AFP, Jumat (20/11) Presiden Donald Trump juga dirawat menggunakan remdesivir di antara obat-obatan lain setelah dia dinyatakan positif Covid-19 pada Oktober.
Saran WHO yang dikemukakan pada Jumat (20/11) tersebut didasarkan pada empat uji coba internasional secara acak di antara lebih dari 7.000 pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
Meski demikian, mengacu pada panduan pengobatan terbaru di jurnal medis BMJ, pihaknya mengakui bahwa bukan berarti remdesivir tidak bermanfaat bagi pasien.
Tapi berdasarkan angka terbaru, dari segi biaya dan metode pengiriman, pihaknya menyarankan agar tidak menggunakan remdesivir selain perawatan biasa untuk pengobatan pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit, terlepas dari tingkat keparahan penyakitnya.
Bulan lalu, produsen Gilead mengatakan penjualan remdesivir telah meningkatkan penjualan di kuartal ketiga 2020 dengan hampir USD900 juta atau sekitar Rp12,7 triliun.
Awalnya, remdesivir dikembangkan sebagai pengobatan virus Ebola. Kemudian dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada Mei, obat itu diketahui dapat mengurangi durasi rawat inap penderita Covid-19 di rumah sakit dari rata-rata 15 hari menjadi 11 hari.
Namun pra-cetak WHO berikutnya menemukan obat itu tampaknya memiliki sedikit atau tidak ada efek pada kematian atau durasi rawat inap di antara lebih dari 11 ribu pasien yang dirawat di rumah sakit di 30 negara.
Sementara itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia Penny KLukito menyatakan, bahwa pihaknya telah memberikan persetujuan terhadap dua obat untuk digunakan ke pasien positif terinfeksi virus corona, yakni Favipiravir dan Remdesivir.