Pembeda selanjutnya adalah kualitas. Campuran tanah liat dan pasir, harus pas. Kalau saja kurang campuran pasir, saat dilakukan pembakaran pada suhu 600-800 derajat akan pecah. Di sini, keterampilan dan keahlian kombinasi keduanya (pasir dan tanah liat) dibutuhkan. Masyarakat setempat tentu sudah paham betul. Pasir-pasir itu didapat dari sungai di desa setempat. Tak perlu mencari hingga menyeberang pulau untuk mendapatkannya.
Dulu pembuatan gerabah dilakukan manual. Membutuhkan tenaga lebih. Namun sekarang bisa menggunakan bantuan mesin. Proses pembuatan gerabah juga tak lepas dari bantuan sinar matahari langsung. Tahap penjemuran. Musim hujan seperti sekarang otomatis membutuhkan waktu lebih. Untuk menunggu sinar matahari pada puncaknya.
“Gerabah kita juga ada kemiripan dengan yang ada di dataran Tiongkok,” jelasnya.
Kemiripin dari segi bentuk. Contohnya motif naga. Semua tahu naga identik dengan negara tirai bambu tersebut. Entah kenapa, generasi milenial sebagai penerus di Sitiwinangun gemar membuat motif naga. “Seperti udah bawaan dari orang tua mereka,” sambung Ratija.
Variasi atau bentuk juga sangat beragam. Mencakup berbagai kebutuhan. Seperti membuat kuali, pendil, ember hingga pot bunga tadi.
“Pembeda selanjutnya gerabah di sini sudah menjadi benda seni. Benda simbolis seperti patung singa barong, naga liman,” pungkasnya. (*)