Terlebih, ada kelemahan dan ketidaksempurnaan pada ketersediaan data untuk menyalurkan stimulus dan insentif. Sehingga menambah potensi korupsi menjadi lebih besar.
“Ancaman orang-orang yang melakukan tindakan korupsi atau bahkan menggunakan kelemahan atau ketidaksempurnaan sistem untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Dikatakannya, anggaran pemerintah untuk memberikan stimulus dan insentif kepada masyarakat sangat besar mencapai Rp695,2 triliun atau 4,2 persen dari PDB. Anggaran ini hingga menyebabkan belanja negara membengkak Rp2.739 triliun dengan defisit sebesar 6,34 persen.
Anggaran yang masuk dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) itu meliputi dukungan di bidang kesehatan Rp97,26 triliun, perlindungan sosial Rp234,33 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp65,97 triliun, UMKM Rp114,81 triliun, korporasi Rp62,22 triliun, dan dunia usaha Rp120,6 triliun.
“Begitu besar angka Rp695,2 triliun ini. Jadi kita harapkan bisa membuat Indonesia mampu menangani Covid-19, melindungi masyarakat dan dunia usaha agar mereka pulih secara kuat, cepat dan sehat,” katanya.
Oleh sebab itu, ia menegaskan moral hazard terutama menjaga integritas saat menerapkan kebijakan dan menggunakan anggaran untuk menangani dampak pandemi merupakan tantangan yang luar bisa dan harus mampu dijaga.
“Di sinilah ujian integritas jadi sangat penting. Ujian terhadap ikhtiar kita untuk membangun pengendalian internal agar lebih robust menjadi lebih penting,” tegasnya.
Sri Mulyani menegaskan, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, Polri, maupun BPKP untuk mencegah potensi terjadinya korupsi.
“Ini bukan hanya tanggung jawab pimpinan, tapi kita semua karena satu virus korupsi, maka satu virus yang mengompromikan integritas. Sama seperti pandemi dia bisa menular dan bisa membahayakan institusi,” jelasnya. (gw/fin)