JAKARTA – Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (SP TSK SPSI) menolak rencana Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang membolehkan Tunjangan Hari Raya (THR) boleh dicicil atau ditunda.
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto mengatakan, dikhawatirkan akan banyak perusahaan yang memilih opsi untuk mencicil atau menunda pembayaran THR. “Kondisi tahun 2020 dengan sekarang tahun 2021 sangat berbeda di mana perusahaan sudah beroperasi secara normal,” kata Roy dalam keterangannya, kemarin (21/3).
Roy menyesalkan kebijakan pemerintah yang cenderung berpihak kepada para pengusaha ketimbang buruh. Padahal, kata dia, aturan yang diterbitkan pemerintah telah merugikan kaum buruh.
Aturan itu, antara lain pengesahan UU Cipta Kerja, PP No 34 tentang tenaga kerja asing (TKA), PP No 35 mengenai PKWT, alih daya dan PHK, PP No 36 mengenai pengupahan, PP No 37 mengenai JKP, serta Peraturan Menteri (Permen) No 2 Tahun 2021 mengenai pengupahan untuk industri padat karya di mana aturan tersebut memperbolehkan perusahaan untuk membayar upah buruh di bawah upah minimum.
“Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat berpihak kepada pengusaha dan merugikan kaum buruh, apalagi dengan rencana Menteri Ketenagakerjaan akan memperbolehkan pengusaha untuk mencicil dan menunda pembayaran THR 2021, maka lengkap sudah penderitaan kaum buruh,” ujar Roy.
Dia meminta, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah agar tidak mengeluarkan aturan THR dapat dicil atau ditunda. Apabila, pemerintah tetap keukeuh mengeluarkan aturan tersebut, maka buruh akan menggelar aksi menolak aturan itu.
“Kalau pemerintah memaksakan berarti pemerintah memang memaksa buruh untuk turun kembali ke jalan melakukan aksi unjuk rasa penolakan aturan tersebut. Jadi, kalau terjadi kerumunan itu karena kesalahan pemerintah,” tegasnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani sebelumnya, mengatakan kondisi seperti ini masih belum memungkinkan pengusaha untuk langsung membayar penuh THR. “Kalau melihat kondisi saat ini, kelihatannya masih perlu aturan mencicil. Masih banyak sektor yang terdampak pandemi dan belum ada tanda-tanda pemulihan,” ujarnya. (din/fin)