CIREBON- Guru Besar Ilmu Hukum IAIN Syekh Nurjati Cirebon Prof Dr H Sugianto SH MH menentang pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta yang dianggap “melangkahi” proses hukum pengadilan bagi kepala desa yang baru diduga melakukan tindak pidana korupsi.
“Saya tidak sependapat apa yang disampaikan KPK. Karena masih praduga tidak bersalah. Bersalah atau tidak itu berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Penegak hukum tidak bisa mengatakan seseorang bersalah sebelum proses pengadilan,” kata Sugianto kepada Radar, Jumat (3/12).
Pernyataan Alex –panggilan akrab Alexander Marwarta- yang menginginkan pola penanganan korupsi yang melibatkan kepala desa tak diproses hukum dan uangnya dikembalikan atau diberhentikan dari jabatan dinilai tidak tepat. Mengenai biaya peradilan yang lebih besar dibanding uang yang diduga diselewengkan, dianggap bukan alasan.
“Korupsi itu jangan dilihat dari besar atau kecilnya. Tapi perbuatan hukumnya. Kalau korupsi itu dianggap kecil, tidak harus diproses hukum, tapi cukup diberhentikan, kan tidak bisa. Pemberhentian sebuah jabatan publik itu harus melalui proses. Kepala desa yang diduga bersalah (sementara proses hukum masih berjalan, red) tapi diberhentikan, tidak bisa. Bisa di-PTUN nanti,” jelas Sugianto.
Kepala daerah, katanya, punya kewenangan memberhentikan kepala desa yang diduga korupsi berdasarkan putusan hukum yang berkekuatan tetap. Yaitu hasil putusan pengadilan. Tidak bisa divonis sebatas hasil dari penyelidikan atau penyidikan oleh aparat penegak hukum.
Namun Sugianto juga memberikan pengecualian. Yakni jika dugaan korupsi itu hanya bersifat administarasi, bisa diselesaikan dengan restorative justice atau pendekatan secara musyawarah.
“Kalau hasil penyidikan diduga korupsi Rp50 juta, itu hanya bersifat administrasi. Bukan memperkaya diri. Dan hasil audit tidak ditemukan kerugian negara, itu silakan hanya sebatas pengembalian. Kembalikan kepada negara, kalau desa itu hanya persoalan administrasi,” terang dia.
Dikatakan Sugianto, proses hukum harus dilalui dalam setiap dugaan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Kepala desa atau kuwu bisa dinyatakan korupsi, sambung Sugianto, dalam konteks perbuatan yang dilakukan.
Kalau hanya menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau bersifat administrasi, sambungnya, kembalikan keuangan negara. Tapi lain soal jika telah merugikan keuangan negara berdasarkan tindak lanjut hasil audit. Dan diperkuat temuan penyalahgunaan. “Itu lain. Tapi ada unsur niat,” jelasnya.