CIREBON- Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon membeberkan soal uang hasil penjualan besi mesin pompa riol. Ternyata ada tersangka yang tak menyetor hasil penjualan ke kas daerah. Ada juga yang menyetor, tapi tak sesuai dengan angka yang sebenarnya.
Kasus ini melibatkan 4 orang tersangka, 2 berstatus ASN dan 2 pihak swasta. Mereka antara lain Widiantoro Sigit Raharjo dan Lolok Tivianto dari ASN serta pihak swasta Pedro dan Anton. Keempatnya kini sudah ditahan di Rutan Klas 1 Cirebon.
Kasi Intel Kejari Kota Cirebon Selamet Hariyadi SH saat dikonfirmasi membenarkan salah satu tersangka, yakni Widiantoro Sigit Raharjo, tidak menyetorkan uang hasil penjualan besi mesin riol ke kas daerah. “Jadi ada yang disetorkan ke kas daerah, ada yang tidak,” terang Selamet.
“Yang tidak menyetor itu SGT (Widiantoro Sigit Raharjo).
Sedangkan LT (Lolok Tivianto) menyetor Rp15 juta dari total penjualan Rp67 juta. Yang jelas pendalaman masih terus dilakukan,” sambung Selamet.
Disinggung kerugian negara sebesar Rp510 juta, pria asal Pemalang, Jawa Tengah, itu menjelaskan angka kerugian sebesar Rp510 juta itu mengacu hasil perhitungan yang dilakukan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). “Angka Rp510 juta itu berdasarkan hasil perhitungan yang pernah dilakukan BPKP,” tandas Selamet.
Seperti diketahui, Komunitas Pusaka Cirebon menyoroti kasus ini, termasuk menyoal kerugian negara yang hanya ditetapkan sebesar Rp510 juta. Hal itu disampaikan Sejarawan Cirebon yang juga pegiat Komunitas Pusaka Cirebon, Mustaqim Asteja.
Ia mengatakan, mesin pompa buatan Crossley Brother Ltd, sebuah perusahaan manufaktur yang berbasis di Manchester, Inggris, tersebut mempunyai arti yang cukup penting bagi sejarah Kota Cirebon. Sebab, mesin tersebut erat kaitanya dengan pembangunan Cirebon sebagai Kota Gemeente oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
“Jadi aneh kalau kejaksaan menetapkan kerugian negaranya hanya Rp510 juta. Kalau dari kami, Komunitas Pusaka Cirebon menilai mesin pompa riol tersebut tak bisa dinilai secara materiil, mengingat nilai sejarah yang sangat besar dan tak ternilai bagi Kota Cirebon,” tegas Mustaqim.
Menurutnya, pelaku kejahatan yang berkaitan dengan cagar budaya seharusnya bisa dihukum maksimal. Sebab, jika hanya dijerat dengan Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dikhawatirkan akan membuat upaya-upaya perusakan benda cagar budaya semakin masif.