CIREBON– Pemkab Cirebon masih melakukan inventarisasi dan langkah-langkah lainnya menyikapi surat edaran dari Kemenpan RB terkait rencana penghapusan honorer.
Inventarisasi ini penting dilakukan karena Kabupaten Cirebon menjadi salah satu daerah dengan jumlah honorer yang cukup banyak, yakni sekitar 11.200 honorer.
Hal tersebut disampaikan Kepala BKPSDM Kabupaten Cirebon, Dr Hilmi Rivai MPd. Menurut dia, pihaknya sudah menggelar rapat koordinasi dengan sejumlah SKPD terkait seperti BKAD, Inspektorat, Dinas Pendidikan dan lain-lainnya terkait langkah dan inventarisasi yang perlu dilakukan.
“Kita sudah hitung, dengan surat dari Kemenpan RB tersebut nantinya akan ada 11.200 honorer yang akan terdegradasi. Ini yang sedang kita fikirkan untuk dicarikan solusinya,” ujar Hilmi Rivai kepada Radar Cirebon, kemarin.
Diterangkan, 11.200 honorer tersebut terdiri dari TKAD, TKK dan sukwan yang tersebar baik di puskesmas, dinas, dan lain-lainnya. “Ini kan jumlahnya banyak sekali, sehingga tidak mungkin bisa di-cover daerah. Kita sudah hitung, dari angka tersebut kita hanya dimungkinkan bisa menyerap itu sekitar 500 orang saja untuk formasi P3K saja dengan anggaran sekitar Rp90 miliar,” imbuh Hilmi Rivai.
Kecuali, menurut dia, ada anggaran dari pusat seperti DAU untuk penambahan formasi P3K di daerah. Ia pun membuat beberapa skenario jika kebijakan tersebut tetap harus dilaksanakan. Seperti mengoptimalkan rekruitmen di BLUD.
BLUD, kata Hilmi, masih diperkenankan untuk mengangkat personel sesuai dengan analisis kebutuhan. “Nanti kita undnag BLUD seperti puskesmas dan rumah sakit terkait kemampuan keuangan dan kebutuhannya,” bebernya.
Selain itu, Pemkab Cirebon juga akan merekrut outsourcing atau tenaga alih daya untuk beberapa jenis pekerjaan seperti petugas kemanan, pramusaji dan tenaga kebersihan.
“Kita juga akan berkomunikasi dengan dunia usaha untuk bisa menyerap tenaga honorer kita. Ini karena tenaga honorer kita adalah tenaga kerja berpengalaman yang punya keahlian yang sudab terbiasa bekerja,” jelas Hilmi Rivai.
Namun demikian, Hilmi menyebut perlu komunikasi juga dengan daerah lain karena kebijakan ini diterjemahkan beragam oleh daerah lain sehingga ada beberapa daerah yang menolak dengan berbagai alasan. “Seluruh asosiasi pemerintah daerah baik forum sekda, forum kepala daerah harus duduk bersma dan menjalin komunikasi intens dengan pemerintah pusat, karena bagi daerah ini pilihan sulit, kebijakan ini memang kebijakan pusat yang nantinya akan sangat berdampak bagi daerah,” bebernnya.