Kini Wagiman gelisah. Tahun ini sudah ada siswa yang lulus SMA. “Akan ke mana mereka?” tanyanya. Setiap saat ia digoda oleh pertanyaan itu. Tepatnya: mereka yang hafal Quran itu akan jadi apa? Wagiman belakangan ini pergi ke mana-mana. Ke berbagai sekolah unggulan. Termasuk menemui saya. Ia belum puas dengan sistem di madrasahnya sekarang ini.
Wagiman masih mengumpulkan pembanding. Jelas, ia akan mengubah sistem yang ada di Yanbu’ul Qur’an tanpa menghapus kekhususan tahfidnya.
Lulusan SD ini punya kecerdasan ilmuwan: gelisah oleh perkembangan zaman, lalu mencari jalan baru. Tidak hanya mencari, ia juga akan melaksanakannya.
Baca Juga:Ridwan Kamil Selangkah Lagi Gabung Partai Golkar19 Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek 2023, Cocok Dikirim ke Keluarga dan Teman
Begitu terkenalnya Wagiman di Pati sampai ada yang mengusulkannya menjadi calon bupati. Wagiman sempat tergoda. Soal dana ia punya. Tapi ijazah SMA tidak ada.
Akhirnya Wagiman ikut kejar paket B. Ikut ujian SMP. Lulus. Ikut pula paket C. Ujian SMA. Lulus.
Setelah memiliki syarat formal itu Wagiman justru insyaf: untuk apa jadi bupati. Ia ingin mengurus madrasah yang ia dirikan sampai maju sekali.
Wagiman pun ambil putusan: batal mendaftar calon bupati. Saya ajak ia toss sampai tiga kali.
Waktu Wagiman masih kecil tidak ada satu pun masjid di Desa Sukoharjo, Kecamatan Sedari Jaksa, di utara kota Pati itu.
Ia masih ingat langgar pertama di desa itu didirikan di dekat rumahnya. Itu pun karena tetangganya kawin dengan wanita dari Desa Sedan, Rembang, yang dikenal sebagai desa santri. Sang istri yang minta agar ada musala di halaman rumah mereka.
Sejak itu, Wagiman tidur di musala itu. Di langgar itu ia sempat belajar mengaji tapi tidak lama. Tidak sampai bisa beneran. Langgar itu lebih bagus dari rumah orang tuanya: dinding anyaman bambu, atap daun, dan lantai tanah. Ia kerasan di musala itu. Setidaknya untuk tidur.
Baca Juga:15 ASN Pemkab Cirebon Berebut 3 Posisi Esselon II, Sekda Jamin Tak Ada PengondisianSelamat, 131 Pelamar Lolos Seleksi PPPK di Kementerian PANRB
“Di desa saya dulu tidak ada yang bisa mengaji,” katanya. “Ayah saya sendiri tukang main judi,” tambahnya.
Merantau adalah memutus mata rantai masa lalu. Pun ketika merantau itu hanya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Wagiman pun akhirnya menjadi pembantu rumah tangga orang besar: Kepala Bulog. “Ketika ramai Bulog Gate di zaman Presiden Gus Dur itu saya jadi pembantu di rumah beliau,” katanya.