DPR Keberatan Kebijakan Dedi Mulyadi, Tidak Sepakat Vasektomi Syarat bagi Penerima Bansos

JAWAPOS.COM
Anggota Komisi XIII DPR RI, Pangeran Khairul Saleh menyoroti kebijakan kontroversial Dedi Mulyadi yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial.
0 Komentar

RADARCIREBON.ID – Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mensyaratkan vasektomi bagi laki-laki untuk bisa mendapatkan bantuan sosial (bansos), menuai kritik. Anggota Komisi XIII DPR RI, Pangeran Khairul Saleh menyoroti kebijakan kontroversial Dedi Mulyadi yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial.

Pangeran menyebut, kebijakan mewajibkan vasektomi demi mendapatkan bansos tidak dapat dibenarkan dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi HAM dan nilai-nilai Pancasila. Ia menegaskan bansos adalah hak konstitusional yang dijamin negara.

“Bansos adalah hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikaitkan dengan prosedur medis yang bersifat pribadi dan permanen. Usulan tersebut tidak hanya cacat secara etika, tetapi juga menabrak prinsip-prinsip hukum dan kemanusiaan,” kata Pangeran kepada wartawan, Selasa (6/5).

Baca Juga:Pansel KY Libatkan KPK, PPATK hingga BIN Untuk Tracking CalonMeski Daerah Pelosok, Gunungmanik Miliki Rumah Produksi UMKM

Meskipun vasektomi secara medis dapat berperan dalam pengendalian kelahiran, lanjut Pangeran, merupakan pilihan pribadi yang tidak bisa dipaksakan.

“Terlebih jika vasektomi dikaitkan dengan pemenuhan hak dasar seperti bansos. Usulan seperti ini jelas melanggar HAM, karena memaksa seseorang untuk menjalani prosedur medis yang bersifat pribadi sebagai prasyarat memperoleh hak dasar,” tegasnya.

Pangeran mengingatkan, pada masa Orde Baru, program KB pernah dijalankan dengan tekanan administratif dan minim partisipasi publik. Namun akhirnya menimbulkan trauma sosial jangka panjang.

“Saya khawatir hal serupa bisa terulang jika pendekatan seperti ini kembali digunakan tanpa memperhatikan konteks sosial dan hak individu. Menjadikan kepesertaan KB sebagai syarat bagi masyarakat miskin mendapat bantuan dari Pemerintah juga terkesan diskriminatif,” ucap Pangeran.

Selain persoalan vasektomi, Pangeran juga mengkritisi militerisasi anak sekolah melalui program-program kedisiplinan berbasis militer yang mulai dijalankan di wilayah Jabar. Ia mengatakan, langkah tersebut bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan prinsip pendidikan yang humanis.

“Anak-anak harus tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan mental dan fisik secara utuh, bukan ditanamkan doktrin kekerasan atau kedisiplinan ekstrem,” tutur Legislator dari Dapil Kalimantan Selatan I itu.

“Kebijakan militerisasi siswa sekolah melanggar hak-hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Artinya mengirimkan siswa ke barak militer itu juga melanggar HAM,” sambungnya.

0 Komentar