RADARCIREBON.ID – Walau bukan tanaman khas Indonesia, namun kopi bisa tumbuh subur di sekitar kawasan Gunung Ciremai, Jawa Barat.
Namun demikian, tanaman kopi di kaki dan lereng gunung tertinggi di Jawa Barat itu tidak selalu mulus. Banyak cerita sedih dan senang yang harus dilalui, terutama bagi para petani kopi.
Tanaman kopi di kawasan gunung yang menjadi tapal batas Kuningan dan Majalengka ini pernah berajaya pada masa kolonial. Tepatnya pada masa Tanam Paksa.
Baca Juga:Naik Kelas, Kopi Terbaik Gunung Ciremai Mendunia, Hadir di International World of Coffee 2025Kemajuan Peradaban Kerajaan Pajajaran Prabu Siliwangi, Terekam Kesaksian Portugis
Pada zaman itu, kopi dari kawasan Gunung Ciremai ini terus mencapai kejayaanya. Bahkan kopi, termasuk dari Ciremai, menjadi unggulan ekspor Hindia Belanda.
Namun, seiring pergantian rezim pemerintahan kolonial Belanda, kopi dari kawasan ini mengalami kejatuhan. Para petaninya pun merugi. Bahkan mereka ketika itu tidak rertarik lagi menanam kopi.
Ada sejarawan dan media kolonial yang menulis tentang jatuh bangunnya kopi di sekitar gunung yang terkenal mistisnya itu. Di antaranya sejarawan dari Cirebon yang bernama Tendi.
Menurut Tendi, lerkembangan kopi di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya, tidak lepas dari peran para pemimpin saat itu. Terutama pemimpin lokal yang dikendalikan pemerintah kolonial Belanda.
Ketika itu, kopi menjadi pilihan utama pihak kolonial. Hal tersebut lantaran kegagalan tanaman nila yang sempat dijagokan. Nila ternyata tak mampu memberikan hasil memuaskan di pasaran.
Pada 1830, Gubernur Hindia Belanda dijabat oleh Johannes van den Bosch. Pada masa kepemimpinannya tersebut, kopi dijadikan sebagai komoditas ekspor unggulan, pengganti nila.
Agar menjadi unggulan ekspor, Van den Bosch menerapan sistem tanam paksa. Di antara caranya, dia mewajibkan setiap desa menyediakan 20 persen lahan untuk komoditas ekspor. Termasuk untuk budi daya tanaman kopi.
Baca Juga:Siapa Jaya Dewata yang Dijadikan KDM untuk Nama Gedung Negara Cirebon? Kenapa Ditolak Budayawan?Belajar dari Trenggalek, Cari Cuan Baru lewat Perdagangan Karbon, Kuningan dan Majalengka Bisa?
Sistem Tanam Paksa ini benar-benar berhasil. Bahkan sistem tersebut menjadi mesin uang bagi Belanda, terutama dari komoditas tanaman kopi.
Data menunjukkan, pada tahun 1830, keuntungan pihak kolonial dari ekspor kopi berada di angka 12,9 juta Gulden. Kemudian 10 tahun berikutnya melonjak pesat hingga 74,2 juta Gulden.
Hanya sayang, masuk paruh kedua abad ke-19, masa kejayaan perkebunan kopi mulai memudar. Termasuk yang berada di kawasan Gunung Ciremai. Ketika itu produktivitas lahan menurun drastis.