BELANDA BUAT SDI TANDINGAN
Kuatnya pengaruh SDI di yang dipimpin Samanhudi di pelosok-pelosok negeri membuat gemetar penjajah. Selanjutnya, Belanda memerintahkan kepada R.M. Tirto Adisuryo, untuk mendirikan SDI tandingan di Bogor tahun 1909 dengan supervisi Residen Bogor C.J. Feith yang sekaligus pelindungnya. SDI buatan Belanda yang dipimpin R.M Tirto Adisuryo ini mendapat bantuan dana tak terbatas dari Controlir Ciamis, Weitffenbach, dan Asisten Residen Ciamis, Van Zuthpen serta Bupati ciamis, R.A. Koesoemabrata (AM Suryanegara 2009 : 349).
R.M Tirto Adisuryo yang diminta belanda untuk mendirikan SDI pada 5 April 1909 di Bogor sebagai tandingan atas SDI Samanhudi yang didirikan di Surakarta 16 Oktober 1905 adalah Anggota Budi Utomo Afdelling II Bandung.
Selain itu dirinya adalah penerima bintang jasa pemerintah Belanda Orde Oranje Nassau, SWO, Songsong Kuning (payung kuning) karena keberhasilannya membantu Belanda dalam program tanam paksa. Sedangkan Ayahnya yakni R.Ng. Chan Thirthodipuro adalah kolektor pajak kepercayaan Belanda. Eyangnya, R.M.T. Tirtonoto adalah bupati Bojonegoro, peraih bintang jasa Belanda Ridder Nedherlandsche Leeuw, karena loyalitasnya pada Belanda.
Baca Juga:Tinjau Proses Seleksi PPPK di Bandung, Wakil Bupati Indramayu: Kita Ingin Proses Ini Benar-benar BersihBupati Indramayu Dorong Akselerasi Pembangunan Infrastuktur Jalan Tol Indrajati
Pada akhirnya, SDI bentukan Belanda yang dipimpin R.M. Tirto Adhisuryo tidak bertahan lama, karena tahun 1911 bubar, seiring dengan kesadaran pribadinya.
Dalam perjalanan sejarahnya, SDI kemudian bermetamorfosis menjadi Syarekat Islam (SI) yang dipimpin pertama kali oleh seorang pemuda, Oemar Said Cokroaminoto. Gelar Haji di depan namanya seolah dirinya sangat tua. Padahal, saat beliau memimpin SI, barulah berusia 38 Tahun. Kelak dirinya mendidik Kusno menjadi orator ulung yang kemudian berganti nama menjadi Soekarno dan menikahi putrinya, Utari.
Peci hitam yang dipakai mertuanya setiap kali berpidato di depan massa SI kemudian dijadikan sebagai simbol nasional kelak saat dirinya membaca teks proklamasi pada hari jum’at legi, pukul 10.00 tanggal 9 Ramadhan 1364 H/17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
P.H. Fromberg mencatat informasi, mengapa Islam sebagai Idiologi SI kala itu adalah, sebagai tali pengikat, dan apa yang dicitakannya adalah untuk kemajuan bangsa Indonesia, dan Islam tidak menjadi penghambat karenanya. Tidak heran bila Donald Eugene Smith menyatakan bila, Oemar Said Cokroaminoto sebagai ketua SI telah berhasil memproklamirkan Islam sebagai lambang nasional. SI sebagai organisasi modern, telah mempelopori dan memasyarakatkan penggunaan istilah “Nasional” melalui konggresnya 17-24 Juni 1916 di Bandung serta menuntut pemerintahan sendiri (Zelf Beestuur).