“Marah”; Ajaran Ki Hadjar Dewantara yang Luput Dipraktikkan

Ilustrasi
Ilustrasi. Foto: Istimewa.
0 Komentar

Ki Hadjar Dewantara bukan sekadar sosok yang marah terhadap penjajahan. Ia adalah pribadi yang marah dengan penuh kesadaran. Ia tidak meledak, tidak menghardik, tidak mengumpat. Ia memilih cara yang lebih tinggi: menulis. Ki Hadjar memindahkan bara kemarahannya ke atas kertas—menjadi nyala api yang menyulut kesadaran bangsa.

Bukan kemarahan sembarang kemarahan. Tulisan Ki Hadjar lahir dari pergulatan batin seorang intelektual yang tercerahkan oleh pengalaman, pengetahuan, dan cinta pada bangsanya. Ia menggugat sikap kolonial Belanda yang menuntut rakyat Hindia Belanda ikut merayakan kemerdekaan Belanda dari Napoleon, padahal mereka sendiri masih dijajah. Ironi itulah yang ia tusuk dengan kalimat tajam, penuh ironi, tetapi tetap beradab. Kemarahannya berkelas, berwawasan, dan berdampak.

Dalam konteks Indonesia pada masa itu, kemarahan terhadap penjajahan Belanda adalah hal yang wajar. Namun, yang membedakan kemarahan Ki Hadjar Dewantara adalah bagaimana dia menyalurkan amarah tersebut. Daripada menggunakan kekerasan atau aksi yang merusak, dia memilih untuk menulis; sebuah bentuk seni yang dapat menyentuh hati dan pikiran orang banyak.

Baca Juga:Patung Rajawali Raksasa di Desa Cipaat Indramayu Jadi Sorotan di Medsos, Ternyata Segini BiayanyaForkopimcam Jatibarang Indramayu Turun Tangan, Tertibkan Aturan Retribusi di Pasar Sandang Jatibarang

Kalau kita berkenan sejenak membaca karya-karya Foucault, kita dapat melihat bahwa kekuasaan bukan hanya berwujud dalam fisik atau kekuatan politik, tetapi juga melalui kontrol terhadap narasi dan pemikiran.

Dalam hal ini, tulisan Ki Hadjar pada masa itu menjadi alat yang sangat ampuh untuk mengubah cara berpikir masyarakat tentang penjajahan dan ketidakadilan. Lewat “Andai Aku Seorang Belanda”, Ki Hadjar menyalurkan amarahnya terhadap kolonialisme Belanda dengan cara yang lebih elegan dan penuh refleksi.

Kemarahan Ki Hadjar bukan sekadar mengutuk atau menyalahkan penjajahan Belanda, tetapi mengajak masyarakat Indonesia untuk merasakan ketidakadilan yang mereka alami dan membangkitkan kesadaran kolektif. Dalam tulisan tersebut, Ki Hadjar tidak sebatas mengekspresikan kebenciannya terhadap penjajahan, tetapi juga menyiratkan harapan akan kebangkitan bangsa yang bebas dari penindasan.

Kalau ditarik pada ideologi radikal ala Marx, tulisan Ki Hadjar masa itu menjadi semacam penekanan bahwa revolusi sosial yang sejati tidak hanya terjadi melalui kekerasan fisik, tetapi melalui revolusi ideologis. Dengan kata lain, perubahan tidak hanya datang dari tindakan fisik, tetapi juga dari perubahan cara berpikir masyarakat yang dibangun melalui intelektualitas dan narasi yang kuat.

0 Komentar