Tulisan yang Tak Terbaca: Krisis Berpikir pada Era Digital

Ilustrasi
Ilustrasi. Foto: Istimewa.
0 Komentar

Mahasiswa harus memiliki buku/hasil riset cetak atau digital. Mahasiswa harus menandai pada buku bagian yang dibacanya. Kemudian kutipan dimasukkan ke dalam format khusus kutipan. Jika kutipan sudah lengkap, mahasiswa diminta menguraikan berdasarkan kutipan tersebut.

Misalnya mahasiswa diminta menguraikan istilah teks narasi. Uraian mahasiswa berdasarkan kutipan dari buku yang dijadikan sebagai rujukan. Rujukan ditentukan minimal 5 buah.

Proses ini memang melelahkan. Mendidik mahasiswa berpikir kritis dan terutama berkarakter mandiri melelahkan. Dosen harus mengikuti perkembangan dunia digital secara cermat. Dosen harus terus belajar. Dosen harus sabar dan terutama jangan bosan membimbing mahasiswa. Mendidik adalah upaya menjadikan mahasiswa cerdas dan berakhlak baik. Kita selalu menginginkan generasi setelah kita lebih baik karena tantangan masa depan lebih sulit dibandingkan masa kini.

Baca Juga:Penderita HIV/AIDS di Wilayah Puskesmas Munjul MeningkatBupati Serahkan Alsintan, Dukung Ketahanan Pangan Nasional

Teknologi akan terus berkembang dan harus disikapi dengan akhlak baik. Pada saat kita menjadikan mahasiswa memiliki akhlak baik sebagai tujuan pendidikan, Insya Allah negara kita akan menjadi lebih baik. Jadikan kelas sebagai media pembentukan aklhak baik dan hati salim. “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR Tirmidzi, Riyadlu Al-Shalihin:278).

Sekali lagi kita tidak mungkin menghindari kemajuan teknologi. Namun, seperti pisau bermata dua, aplikasi bisa mencerdaskan atau menumpulkan nalar. Pendidikan seharusnya melahirkan manusia yang berpikir dan berakhlak. Oleh karena itu, kelas bukan sekadar ruang transfer ilmu, tetapi taman untuk menumbuhkan akhlak dan hati. Bila mahasiswa bisa menulis pikirannya dengan jernih dan jujur, itulah pertanda ia sedang belajar menjadi manusia seutuhnya. (*)

*Penulis adalah Guru besar pada FPS-UGJ Cirebon

0 Komentar