Di sepanjang Jalan Kapten Samadikun, Jalan Kesunean, hingga Jalan Kalijaga, bangunan semi permanen berdiri di atas trotoar dan menutupi sungai.
Terbuat dari seng, bambu, dan asbes, bangunan-bangunan ini menambah kesan semrawut dan kumuh di jalur utama kota.
*Program Rutilahu Belum Merata
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 663/Kep.900-Disperkim/2022, beberapa wilayah di Kota Cirebon ditetapkan sebagai kawasan kumuh yang harus mendapat penataan dan bantuan rumah tidak layak huni (Rutilahu).
Baca Juga:Siswa Harus Paham Hukum Sejak DiniPengawasan SPMB 2025 Diperketat
Di Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksan, dua RW (RW 10 dan 11 Samadikun) termasuk dalam kategori tersebut.
Lurah Kesenden, Ruliyanto SSTP mengatakan bahwa tahun ini, sebanyak 45 unit rumah akan mendapat bantuan Rutilahu dari Pemprov Jabar, dan totalnya mencapai 116 unit selama periode 2024-2029.
“Setiap Rutilahu mendapatkan bantuan Rp20 juta. Rinciannya: Rp17,5 juta untuk material, Rp2 juta untuk tukang, dan Rp500 ribu operasional BKM. Bantuan ini sifatnya stimulan,” ujarnya.
Namun, pelaksanaan program ini belum sepenuhnya merata. Seorang warga RT 1 RW 11, Nengsih, mengaku telah mengusulkan rumahnya untuk mendapat bantuan, tapi belum terealisasi.
“Sudah disurvei sekali, katanya survei kedua tanggal 20 Juni 2024,” katanya.
*Gerakan 100-0-100 Masih Jauh dari Harapan
Program nasional 100-0-100 yakni 100 persen akses air minum layak, 0 persen kawasan kumuh, dan 100 persen akses sanitasi masih jauh dari target.
Di sejumlah titik, warga masih buang air besar di sungai. Akses sanitasi yang layak belum merata, terutama di kawasan pesisir.
Baca Juga:Dua Pangkalan Gas Oplosan di Kesambi dan Lemahwungkuk DigerebekArisan Lelang Tipu Puluhan Orang
Di sisi lain, camat Lemahwungkuk menyebut ada tiga titik kawasan kumuh di wilayahnya: Pesisir Panjunan, Cangkol, dan Kesunean.
Ketiganya mendapat alokasi bantuan Rutilahu sebanyak 35 unit. Namun kondisi di lapangan masih menunjukkan bahwa upaya penataan belum benar-benar menyentuh akar masalah.
Kota Cirebon, yang seharusnya menjadi etalase kemajuan pesisir utara Jawa, masih bergulat dengan problematika mendasar: kekumuhan, ketimpangan pembangunan, dan kurangnya pengelolaan lingkungan.
Potret buram ini menjadi peringatan bahwa pembangunan kota tidak cukup berhenti pada beton dan bangunan megah, tetapi harus menyentuh manusia dan lingkungannya secara menyeluruh. (ade/abd/cep)