“Itu bukan demokrasi. Itu aristokrasi dibungkus demokrasi,” tandasnya.
Ironisnya, negara-negara Barat sering menuduh sistem Islam anti-demokrasi, otoriter, dan kejam. Padahal, sistem veto mereka sendiri adalah penghinaan terhadap demokrasi. Mereka membungkam suara mayoritas dunia demi kepentingan nasional sendiri. Mereka hanya mendukung demokrasi jika hasilnya sesuai dengan keinginan mereka.
“Ketika pemilu demokratis dimenangkan oleh Hamas di Palestina, Barat justru tidak mengakui hasilnya dan malah memberikan sanksi,” begitu Ngopidiyyah mencontohkan.
Sebaliknya, ketika ada negara Muslim yang ingin menerapkan hukum Islam, langsung dituduh sebagai ancaman HAM, ekstremis, atau fundamentalis.
Baca Juga:Perang Terbuka Pasangan Kepala Daerah, Belajar dari Kasus Gubernur dan Wagub Bangka BelitungWong Cirebon Pimpin GP Ansor OKI, Putra Abdul Hayyi, Pengasuh Ponpes Gedongan
Barat kerap tampil sebagai pahlawan demokrasi, tapi faktanya demokrasi yang mereka dukung adalah demokrasi yang bisa dikendalikan.
Misalnya di suatu negara ada Presiden A yang pro Barat, maka AS akan menaikan dia ke kursi Presiden dan menurunkan Presiden yang kontra Barat.
“Kita sudah belajar banyak dari negara negara yang anti Barat. Bagaimana nasib presiden mereka kecuali dikudeta,” ujar aktivis media sosial tersebut.
“Artinya selama hasilnya menguntungkan mereka, mereka anggap sah. Tapi kalau tidak sesuai? Mereka akan veto, hancurkan, atau intervensi,” tandasnya sambil mengatakan dunia Islam, sudah tidak percaya penuh pada standar ganda demokrasi Barat.