RADARCIREBON.ID – Kebijakan Gubernur Jawa Barat mengeluarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) soal Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) dengan menambah jumlah rombongan belajar (rombel) dari 50 jadi 36 siswa untuk SMA, imbasnya dirasakan oleh semua sekolah swasta. Seperti dialami SMA Muhammadiyah Karangampel. Di tahun ini, pada proses Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB), hanya menerima 24 siswa. Padahal di tahun sebelumnya, jumlah siswa sebanyak 42. Kendati jumlah siswa menurun, pihak sekolah tetap mengadakan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
“Pendaftar turun hampir separuh, terkena imbas kebijakan gubernur yang per rombel 50 siswa. Tapi tetap kita laksanakan kegiatan MPLS selama lima hari, sejak Senin sampai Jumat. Tiga hari materi dari pemerintah, dan dua hari mulok Muhammadiyah sendiri,” ucap Kepala SMA Muhammadiyah Karangampel, Wakhid SPd, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (16/7).
Wakhid mengungkapkan bahwa kebijakan Gubernur Jawa Barat berdampak signifikan pada dunia pendidikan. Ketika jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri yang semula 36 siswa ditingkatkan menjadi 50 siswa, sekolah negeri yang sebelumnya menolak siswa akhirnya menerima mereka kembali. Akibatnya, sekolah swasta kehilangan calon siswa atau mengalami penurunan jumlah siswa secara drastis.
Baca Juga:Serapan Anggaran Jabar di Bawah KDM Disentil Mendagri, DPRD: Ini Jadi Peringatan Dini untuk Pemprov!Kenal Pamit Kapolres Indramayu, Kapolres Baru Janjikan Kamtibmas Meningkat
SMA Muhammadiyah Karangampel sendiri untuk menyambut tahun ajaran baru 2025/2026 pada tahap SPMB telah maksimal menggerakan sumber daya sekolah, sehingga dapat dikatakan strategi SPMB lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, mulai dari guru, TU, keluarga besar Muhammadiyah, siswa, bahkan tokoh masyarakat, sampai publikasi.
“Jika secara hitung-hitungan, kita dapat 70 sampai 90 siswa. Pokoknya naik dari tahun sebelumnya. Tetapi di tengah jalan, muncul kebijakan PAPS. Jadi tidak sesuai, malah turun hampir 50 persen,” tuturnya.
Ia menyebut, dampak kebijakan tersebut sangat dirasakan sekolah swasta. Seperti ke guru yang sudah tersertifikasi. Jumlah 24 jam mengajar akan berkurang. Mereka terancam sertifikasinya tidak cair, kesejahteraannya juga terhambat.
Kemudian, kepada psikologi anak atau siswa. Semangat siswa belajar akan menurun, karena pembelajaran standar dan di bawah standar, itu berbeda saat siswa banyak. Jika siswa sedikit, semangat mereka akan menurun.