“Manajemen sekolah juga terdampak. Pengaruhnya sangat besar karena dalam satu rombel idealnya berisi 36 siswa,” ujar Wakhid.
Masih menurut Wakhid, peningkatan jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) menjadi 50 orang berdampak pada efektivitas proses belajar, meskipun ruang kelas yang digunakan terbilang representatif. Terlebih bagi siswa SMA, pembelajaran setelah pukul 12 siang dapat terpengaruh oleh kondisi psikologis remaja yang sedang dalam masa pubertas, apalagi jika luas ruang kelas hanya 72 meter persegi.
“Mestinya, jika mengacu pada Permendikbud, untuk menampung 50 siswa dibutuhkan ruang kelas seluas 100 meter persegi. Sekarang, apakah ada ruang kelas dengan ukuran seperti itu? Pastinya tidak ada. Ini jelas akan berdampak pada kesehatan, perkembangan psikologis anak, efektivitas pembelajaran, dan kemampuan guru dalam mengajar,” paparnya.
Baca Juga:Serapan Anggaran Jabar di Bawah KDM Disentil Mendagri, DPRD: Ini Jadi Peringatan Dini untuk Pemprov!Kenal Pamit Kapolres Indramayu, Kapolres Baru Janjikan Kamtibmas Meningkat
Wakhid juga menyarankan para orang tua agar lebih mengutamakan kesehatan anak, kualitas pendidikan, dan efektivitas pembelajaran, daripada sekadar mengejar sekolah negeri. Meskipun banyak masyarakat lebih memilih sekolah negeri daripada swasta, pihaknya berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat mengkaji ulang kebijakan tersebut agar siswa tidak menjadi korban dari sistem pendidikan yang tidak ideal.
“Dalam proses kaji ulang, kami mohon kepada Pemprov Jabar untuk melibatkan sekolah swasta, para pemangku kebijakan, pakar pendidikan, pakar kesehatan, pakar psikologi, dan pihak-pihak terkait lainnya. Dengan begitu, keputusan yang diambil benar-benar mempertimbangkan berbagai sudut pandang, tidak hanya dari satu sisi, serta mampu menghindari dampak negatif atau kerugian bagi pihak lain,” ujar Wakhid. (oni)