RADARCIREBON.ID – Sengketa perbatasan antara Thailand dengan Kamboja sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Termasuk yang memicu saling serang antara kedua negara bertetangga tersebut, akhir-akhir ini.
Secara khusus, perang itu dipicu oleh sengketa kuil Preah Vihear. Kuil ini sendiri merupakan bangunan yang telah ada sejak abad ke-11 dan ke-12 di masa-masa keemasan Kekaisaran Khmer.
Tapi tahu tidak, sebenarnya konflik antara dua negara di Asia Tenggara tersebut melibatkan Perancis. Konon, penyebab awal perang itu, ketika Perancis salah membuat peta.
Baca Juga:Momen Lesti Kejora dan Sammy Simorangkir Diminta Hakim MK Suhartoyo Menyanyi di Sidang Uji Materi UU Hak CiptaGaji Rp 5 Juta Sebulan, Punya Anak-Isteri dan Bisa Nabung, Bagaimana Caranya?
Salah membuat peta yang menyebabkan perang Thailand dengan Kamboja tersebut, diantaranya diungkap oleh akun Neo Historia Indonesia di media sosial X.
Dijelaskan, pada awal abad ke-20, Perancis, sebagai kekuatan kolonial di Kamboja. Negara ini memainkan peran utama dalam demarkasi perbatasan dengan Siam atau Thailand sekarang.
Berdasarkan Perjanjian Franco-Siamese tahun 1904, tulis akun itu, telah disepakati batas wilayah kedua negara tersebut. Batas wilayahnya adalah mengikuti garis DAS atau daerah aliran sungai di Pegunungan Dângrêk.
Namun apa yang terjadi? Peta topografi yang dibuat para perwira Perancis untuk komisi perbatasan pada tahun 1907, keliru.
Peta itu menyimpang dari prinsip Perjanjian Franco-Siamese tahun 1904. Peta tersebut menempatkan Kuil Preah Vihear kuno di dalam wilayah Kamboja. Padahal lokasinya berada di sisi lereng Siam dari DAS.
Ketika itu, pemerintah Siam tidak mengajukan protes. Bahkan meminta salinan peta tersebut untuk penggunaan secara resmi.
Itu artinya, secara tidak langsung menunjukkan penerimaan mereka terhadap perbatasan yang digambarkan oleh tentara Perancis tersebut.
Baca Juga:Indramayu Disiapkan Jadi Sentra Pertanian Berbasis Industri ModernEO Bakal Jadi 'Tumbal' Syukuran Berujung Maut Anak KDM, Segera Digarap Polda Jabar
Kesalahan pemetaan ini baru menjadi isu besar beberapa dekade kemudian. Selama survei yang dilakukan pada tahun 1930-an, pihak Thailand menyadari adanya ketidaksesuaian antara peta dan prinsip DAS yang disepakati.
Sengketa ini akhirnya dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag. Dalam putusannya pada tahun 1962, Mahkamah tidak berfokus pada kebenaran geografis dari DAS, melainkan pada perilaku kedua negara setelah peta diterbitkan.
ICJ memutuskan bahwa dengan tidak memprotes selama hampir 50 tahun dan dengan menggunakan peta tersebut, Thailand secara hukum telah menerima (acquiesced) perbatasan tersebut.