Cukup! ‘Aja Adol Maesan’ di Kawasan Makam Sunan Gunung Jati

penertiban pengemis makam gunung jati
Akbarudin Sucipto, budayawan Cirebon. Foto: dokumen pribadi-radar cirebon.
0 Komentar

RADARCIREBON.ID- Budayawan Cirebon Akbarudin Sucipto menyoroti praktik komersialisasi yang merajalela di area makam Sunan Gunung Jati.

Ia pun dengan lantang mengusung jargon “Aja Adol Maesan” atau “Jangan Jual Kuburan” sebagai bentuk protes atas banyaknya gangguan terhadap peziarah, seperti pengemis dengan transaksi yang cenderung memaksa.

Menurut Akbarudin Sucipto, kompleks makam keramat yang seharusnya jadi tempat ziarah dan spiritual, berubah menjadi zona komersil. Praktik transaksional ilegal.

Baca Juga:Area Makam Gunung Jati Makin Nyaman, Tak Ada Lagi Pengemis dan Kotak Amal IlegalHabis Rp15 Miliar, Pesona Alun-alun Pataraksa Kian Memudar

Akbarudin menjelaskan bahwa selama ini masyarakat Cirebon memandang Astana Gunung Jati dan Astana Gunung Sembung sebagai tempat yang sakral dan bernuansa religius.

Namun, di balik itu, ia melihat adanya sisi lain yang sangat memprihatinkan. “Satu sisi itu sebagai lokasi bernuansa religius, spiritual, dan sebagainya. Tapi di sisi lain itu kan jadi zona komersil,” ujarnya kepada Radar Cirebon, Rabu (6/8/2025).

Akbarudin menambahkan, banyaknya pengemis di area makam, menunjukkan praktik transaksional yang kurang beretika. Yang terjadi di Astana Gunung Jati, imbuh dia, mengarah pada praktik yang tidak etis, sehingga muncul frasa Aja Adol Maesan. Persoalan ini, lanjutnya, sudah sangat kompleks.

Ia mengumpamakan fenomena ini dengan jargon populer di Cirebon yang berbunyi “wong mati makani wong urip” atau “orang mati memberi makan orang hidup”. Jargon tersebut, menurutnya, menjadi ironi karena kematian justru menjadi ladang mencari rezeki bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Ia bahkan membayangkan bagaimana perasaan Sunan Gunung Jati, andai beliau masih hidup dan melihat kondisi Astana Gunung Jati saat ini. Ia yakin, Sang Sunan akan merasa malu, sedih, bahkan mungkin marah melihat makamnya digunakan oleh oknum-oknum seperti saat ini.

“Bisa dibayangkan bagaimana malunya, sedihnya, bahkan mungkin juga marah, melihat komplek Astana Gunung Sembung dan juga Gunung Jati yang ternyata itu seringkali digunakan oleh para oknum untuk mengais rezeki, berburu pundi-pundi atau berburu rupiah,” ungkapnya.

Ia menegaskan, tujuan ziarah adalah untuk mendoakan para leluhur. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Proses ritual ziarah harus melewati tahapan-tahapan yang naif karena adanya komersialisasi.

0 Komentar