Tak salah, tegasnya, para pejabat memang memiliki gaji dan tunjangan cukup besar. Tapi seringkali, semua tunjangan itu belum cukup untuk menutupi ongkos miliaran yang dikeluarkan saat pemilu.
“Di sinilah banyak politisi akhirnya nyari jalan pintas balik modal. Mulai dari lobi proyek, akalin izin, sampai kebijakan titipan investor politik,” jelas akun tersebut.
Akun itu menandaskan, pola pikir tersebutlah yang meracuni para politikus dalam mengambil kebijakan. Yang dampaknya bisa panjang.
Baca Juga:Pernyataan Presiden Prabowo Subianto Tentang Ojol yang Dilindas Rantis: Saya terkejut dan kecewaAlhamdulillah, Evakuasi Macan Tutul di Balai Desa Kutamandarakan Kuningan Berhasil
Apa dampak nyata untuk rakyat? Dijelaskan, tingginya biaya politik menjadikan demokrasi di Indonesia kian eksklusif. Yang bisa masuk hanya mereka yang memiliki modal besar atau backingan.
Hasilnya pun, ungkap akun itu, kebijakan yang dibuat rawan berpihak ke mereka yang mempunyai dana, bukan untuk rakyat.
Ujung-ujungnya, jelas akun itu lagi, rakyat yang harus menanggung biaya politik. Bisa melalui pajak yang makin tinggi. APBN yang jebol untuk proyek titipan, atau regulasi yang hanya menguntungkan segelintir kelompok.
Politik, katanya, hanya menjadi ajang untuk mengembalikan modal. Sementara kebutuhan rakyat malah tak pernah diperhatikan.
Karena itu, gumannya, tidak heran jika memutar musik saja harus membayar. Belum lagi harga kebutuhan pokok makin naik tak terkendali. Bahkan beberapa subsidi mulai dihilangkan.
Mirisnya, jabatan-jabatan penting yang harusnya menggunakan sistem Meritokrasi atau dengan menempatkan orang berdasarkan kecakapan dan kemampuan, kian tak ada harapan.
Bahayanya, sebutnya, tak ada lagi yang percaya bahwa belajar yang pintar dan benar agar bisa sukses. Karenanya tak bisa hanya pasrah dan hanya bergantung kepada pemerintah. Rakyat harus memiliki kemandirian finansial.