RADARCIREBON.ID – Tak perlu heran jika banyak pelaku motivator bisa kaya raya. Ternyata potensi dari bisnis event motivasi itu bisa sampai Rp 744 triliun.
Yang mengungkap potensi bisnis tersebut adalah akun konsultan keuangan “100 Juta Pertama” dalam postingannya di media sosial X, belum lama ini.
Padahal menurut akun tersebut, bisnis setinggi itu hanya menjual mimpi lewat “omon-omon”. Namun potensinya menggiurkan, bisa tembus Rp 744 triliun.
Baca Juga:Teror Macan Tutul di Desa Cimenga, Ternak Milik Warga Sering Jadi SasaranHarga Emas Ukir Rekor Tertinggi Sepanjang Masa, Naik Rp 9 Ribu Dibanding Hari Kemarin
Namun demikian, akun konsultan keuangan tersebut memberikan saran agar tidak tertipu dengan kelas-kelas motivasi. Setidaknya ada 2 hal yang harus dilakukan.
Akun itu menjelaskan, mengutip pernyataan para ahli, seminar dan kelas-kelas motivasi yang jualan mimpi ini lebih mirip dengan ekonomi toxic positivity.
Mengapa? Menurutnya, alih-alih mengembangkan mindset yang realistis, seringkali mereka cuma membikin peserta fokus ke hasil akhir yang besar. Namun demikian tak ada cara nyata yang terbukti dari apa yang diterapkan dalam bisnis mereka.
Padahal, tandas akun itu, sebenarnya jika yang menjual mimpi seperti ini harganya tidak murah. Dengan segala teknik marketingnya lewat membership eksklusif, total nilai keseluruhan bisnis ini di dunia bisa sampai USD 48 miliar atau sekitar Rp 744 triliun.
Yang menjadi masalah, sebutnya, sudah mengeluarkan uang besar, tapi masih dihantui rasa bersalah. Jika gagal dan tak ada hasil, para motivator hanya mengatakan: “Kurang usaha, kurang bersyukur, atau mindsetnya salah.”
Padahal, akun itu mengungkapkan jika realitas ekonomi tak sesimple teori manis ketika presentasi. Banyak faktor yang menentukan sebuah usaha.
Dijelaskan, di banyak negara, industri self-help sudah lama dikritik. Hal itu lantaran membikin orang fokus bagaimana cara menjadi orang kaya.
Baca Juga:Harga Naik Tinggi Sekali, Emas Tetap DiburuPasca Demo Anarkis, Harga Emas Melonjak, Tembus Rp 2 Juta per Gram
Fokus itu tidak salah. Tapi harus melihat faktor lain. Misalnya skill tiap individu, waktu rasional buat ngembangin bisnis, dan gejolak ekonomi yang terjadi di suatu negara.
The Guardian pernah nyebut sisi gelap self-help. Alih-alih membantu, malah membikin banyak orang termakan mimpi dan ilusi.
Sementara masalah nyata, seperti gaji rendah dan ketimpangan ekonomi, disapu dengan slogan “positive vibes only.