Menurut data itu, jika pekerja GIG dengan keterampilan (skill-based) harus bekerja sekitar 44 jam/minggu. Hal itu hanya untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan sekitar Rp7 juta per bulan.
Apakah pekerjaan sampingan ini menjadi solusi kreatif? Atau justru gejala jika ekonomi formal sudah mulai kewalahan menopang kehidupan rakyat biasa?
Jawabannya, tandas akun itu, bisa jadi dua-duanya. Side hustle lahir dari kreativitas mencari peluang. Tapi juga tanda jika gaji dari pekerjaan formal makin sulit mengejar biaya hidup.
Baca Juga:Reshufle Kabinet, Prabowo Sedang Bersihkan Orang-orang Jokowi? Istana Bilang BeginiHari ke Sepuluh, BBKSDA Sisir Hutan Lindung Terdekat Gunung Tangkuban Parahu
Lalu bagaimana jika ada yang ingin side-hustle? Akun tersebut menyarankan untuk memperhatikan 3 hal, agar hidup tak habis hanya untuk “dikerjain”.
1/ Pilih pekerjaan side hustle yang sesuai kapasitas dan skill. Jangan asal ikut tren. Jika tidak enjoy atau mampu secara waktu dan energi, sebaliknya ditinggalkan.
2/ Prioritaskan kesehatan dan waktu istirahat. Side hustle boleh, tapi bukan harga mati sampai bisa membikin burnout. Bikin timeline tracker agar semua pekerjaan bisa terkelola tanpa perlu burnout
3/ Gunakan hasil side hustle untuk hal produktif. Misalnya untuk dana darurat dan investasi. Jadi, uang hasil side-hustle tak hanya terpakai untuk konsumsi instan saja.
Akun itu juga memberikan cacatan penting untuk pemerintah. Terutama jika side hustle bisa menjadi peluang, tapi jangan sampai menutupi masalah yang sudah sistemik.
“Inget ya pemerintah, gaji stagnan tapi biaya hidup makin tinggi itu bukan cuma persoalan individual, tapi butuh perhatian struktural,” tambah akun tersebut.