RADARCIREBON.ID – Dua ruang kelas di SMP Cokroaminoto Cirebon kini tinggal kenangan.
Plafonnya jebol, dinding kusam, dan lantai dipenuhi debu. Di bagian atap, genteng banyak yang lepas, membuat sinar matahari menembus masuk dari celah-celah lubang.
Meja dan kursi tak lagi berjajar rapi. Sebagian bersandar di dinding, sebagian lain sudah lapuk dimakan usia.
Baca Juga:Anggota DPRD Jabar Mas Jun Deklarasi dan Edukasi Gerakan Demen LingkunganSMP Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Cirebon Gelar Cerdas Mulia Competition
Dulu, ruangan itu digunakan sebagai kelas aktif untuk kegiatan belajar-mengajar. Kini, sunyi. Tak lagi ada siswa baru selama bertahun-tahun.
Yang tersisa hanya SMA Cokroaminoto, sekolah yang masih berada di bawah naungan yayasan yang sama.
Namun, jumlah siswanya pun tak banyak, hanya 41 orang.
Ruang kelas SMA berada tepat di depan gedung SMP yang kini ditutup.
Kepala SMA Cokroaminoto Cirebon, Drs Moh Tajudin, berdiri di tengah ruang kelas yang rusak.
Wajahnya tampak serius saat menunjuk ke arah plafon yang menganga.
“Sudah lama tidak diperbaiki,” ujarnya lirih, Senin (27/10/2025).
Bukan hanya ruang kelas, kondisi musala di sisi bangunan pun tak kalah memprihatinkan.
Tempat yang dulu digunakan siswa untuk salat berjamaah kini terbengkalai.
Karpet telah digulung dan disimpan, sementara cat dinding mengelupas.
“Kalau salat, kami sekarang ke musala di belakang sekolah,” ujar Tajudin sambil menunjuk arah bangunan yang masih digunakan untuk beribadah.
Ia mengaku, musala dan dua ruang kelas tersebut sudah sangat lama tidak tersentuh bantuan perbaikan.
Baca Juga:Desak Segera Disahkannya UU Perlindungan GuruSTMIK IKMI Cirebon dan UTeM Malaysia Jalin Kerja Sama
Harapan kini hanya tertuju pada kepedulian pemerintah atau lembaga sosial yang bersedia membantu rehabilitasi bangunan itu.
“Kalau dua ruang itu direhab, bisa dipakai lagi. Setidaknya bisa digunakan untuk rapat FKKS (Forum Komunikasi Kelompok Kerja Sekolah),” jelasnya.
Selama ini, setiap kali giliran SMA Cokroaminoto menjadi tuan rumah rapat FKKS, Tajudin selalu menolak.
Bukan karena enggan, tetapi karena tak memiliki ruangan yang layak.
“Tidak ada ruang yang bisa dipakai. Kalau sudah diperbaiki, kami siap jadi tuan rumah,” katanya.
Dari luar, pemandangan pun tak jauh berbeda. Cat dinding memudar, sebagian jendela rusak, dan rumput liar tumbuh di halaman.
