Jika dilihat dari sisi keuangan personal, lanjut akun itu, sebenarnya fenomena ini tak lebih dari “impulsif spending”. Yakni secara psikologis, ketika belanja lebih mendahulukan sisi emosional dari pada akal sehat.
Akhirnya, kata akun tersebut, secara psikologis menghalalkan jika berbelanja kebutuhan sekunder, seperti skincare. Bahkan seperti bisa mengurangi stres. Padahal kondisi keuangan pas-pasan bahkan minus.
Tapi, ungkapnya, aplikasi e-commerce seperti sengaja disetting agar bisa checkout super cepat. Dibuat seolah calon pembeli sudah mengerti, agar segera menyelesaikan transaksinya.
Baca Juga:Harga Emas Naik Luar Biasa, Sinyal Menuju Krisis Global, Apa yang Harus Dilakukan?Kecelakaan Truk di Plangon, Pengemudi Luka-luka
Akun itu mengingatkan, jika literasi finansial emotional spending awareness makin penting. Sudah banyak “tanda” yang memaksa membuat siap kapanpun badai krisis itu datang.
Makanya, saran akun itu, minimal sekali mumpung masih belum datang badai, bangun dulu Emotional Spending Awareness. Caranya:
1/ Dengan membiasakan menunda minimal 24 jam sebelum membeli sesuatu yang bukan kebutuhan pokok. Jeda ini memberi waktu otak untuk mengambil alih dari impuls.
2/ Harus disiplin memisahkan rekening “hiburan”. Jangan sekali-kali pakai paylater dan tabungan sendiri untuk membeli barang konsumtif, hanya karena ada promo, padahal bugdet sudah nol besar.
“Kelihatannya gampang kan? Makanya, yok mulai sekarang lakukan jangan omon-omon doang,” saran akun itu menambahkan.
