“Sekarang ibu-ibu banyak yang sibuk, malas ke pasar, malas bersihin ayam. Nah, kita bantu dengan menyediakan ayam yang sudah bersih, sudah diungkep, ready to cook, tinggal goreng saja,” ujarnya.
Lima karyawan membantunya. Tiga di bagian produksi dan pemotongan, dua di bagian pengolahan. Produk olahan beku itu kini telah menembus pasar di Bandung, Bogor, Bekasi, hingga Jakarta.
Saat ini, penjualan ayam olahan mencapai 1.000 ekor per bulan, sementara total pemotongan ayam mencapai 3.500 ekor per bulan. Dengan harga rata-rata Rp40.000 per ekor, omzet dari ayam potong saja mencapai sekitar Rp140 juta per bulan, belum termasuk produk olahan.
Baca Juga:Sekda Kuningan Dorong Sinergi OPD untuk Wujudkan Kuningan MelesatAnak-anak di Indramayu Diajari Budaya Taat Lalu Lintas Sejak Dini
Semua berawal dari modal Rp625.000. “Alhamdulillah, dari modal ratusan ribu itu sekarang bisa berkembang seperti ini,” ucapnya.
Namun perjalanan ini bukan tanpa hambatan. Menurutnya, tantangan terbesar ialah penyakit ayam. Karena, satu ayam sakit bisa menular cepat dan menyebabkan kerugian besar. Kemudian, pasar, yang menuntut inovasi agar usaha tidak hanya bergantung pada tengkulak. Karena itu, ia terus berinovasi terutama pada produk siap saji yang lebih diminati keluarga.
Kasadi kini tengah merencanakan pembangunan outlet agar proses penjualan bisa berjalan dari hulu ke hilir. Dari pembesaran ayam, pemotongan, pengolahan, hingga penyajian langsung kepada konsumen. Ia juga berencana meningkatkan jumlah populasi ayam, dan memperluas pasar agar kapasitas produksi yang makin besar tidak sia-sia.
Di balik kandang yang sederhana dan suara ayam yang riuh, perjalanan hidup Kasadi adalah bukti bahwa usaha kecil bisa tumbuh besar ketika dikelola dengan ketekunan, keberanian mengambil keputusan, dan kemampuan membaca pasar. Dari 25 ekor ayam, kini menjadi 7.000, dan perjalanan Kasadi tampaknya baru saja dimulai. (han)
