Kasus pertama terjadi karena penerima mengalami kecelakaan dan tak mampu memenuhi syarat swadaya tenaga dalam proses perbaikan rumah. “Uang sudah ditransfer, namun karena kondisi kesehatan, yang bersangkutan tidak sanggup melanjutkan,” jelasnya.
Kasus kedua dipicu persoalan sengketa tanah di lingkungan keluarga penerima. “Sudah cair, tapi bantuan batal karena masalah status kepemilikan tanah,” ungkapnya
Lukman menjelaskan, ada tiga skema penanganan rutilahu 2025. Yang pertama, Bantuan Bedah Rumah Swadaya (BBRS) sebanyak 370 unit melalui APBD II dengan bantuan Rp20 juta per unit. Kedua, Rutilahu Banprov sebanyak 28 unit melalui APBD I. Ketiga, Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), 50 unit melalui APBN.
Baca Juga:Siswi SMP di Cirebon Jadi Korban Tindakan Asusila, Ketahuan dari Chat WAResmi Dilantik Walikota, 49 Orang Kena Mutasi
“Untuk 2026, Pemkab Cirebon menargetkan 445 unit BBRS dari APBD II. Sedangkan usulan ke provinsi mencapai 966 unit, dan ke pemerintah pusat melalui BSPS sebanyak 4.677 unit,” ungkapnya.
Lukman menegaskan, jika pemerintah menargetkan penyelesaian seluruh kebutuhan rutilahu pada 2030, idealnya minimal 1.000 unit harus ditangani setiap tahun. “Kalau mau selesai tepat waktu, ya harus seribu unit per tahun,” tegasnya.
Lukman memastikan hingga saat ini tidak ditemukan laporan bantuan yang tidak tepat sasaran. Pendataan dilakukan secara berjenjang dan akurat. “Sejauh ini tidak ada temuan penerima yang tidak sesuai. Proses verifikasi ketat, dan penerimanya benar-benar warga yang rumahnya tidak layak huni,” ujarnya.
Sebagai fungsi pengawasan, Komisi III terus menguatkan koordinasi dengan DPKPP dan para kuwu agar bantuan tersalurkan tepat sasaran. “Kami terus mengoptimalkan pengawasan. Harapannya, bantuan ini bisa benar-benar dirasakan masyarakat yang membutuhkan,” tandasnya. (son/dam/abd/ade/sam)
