Bukan hanya Covid-19. Angka kasus baru tuberculosis (TBC) di Kabupaten Cirebon cukup tinggi. Setiap tahun, ditemukan ribuan kasus baru. Bahkan, Kabupaten Cirebon masuk 10 besar daerah dengan kasus temuan TBC tertinggi di Jawa Barat.
SELAIN temuan kasus yang cukup besar, angka kematian akibat TBC juga tidak bisa dibilang kecil. Hal inilah yang membuat masyarakat harus berhati-hati dengan penyebaran bakteri TBC yang pengobatannya butuh durasi cukup penjang.
Data yang berhasil dihimpun Radar, jumlah kasus baru yang ditemukan Dinkes Kabupaten Cirebon selama periode Januari 2020, sampai 18 September 2020 berjumlah 2051 kasus.
Kasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Cirebon, Sartono melalui pengelola program, M Subhan mengatakan, angka temuan kasus pada 2020, lebih kecil dari kasus yang ditemukan pada tahun 2019. Ada dua hal yang dilakukan oleh Dinkes, yakni dengan metode active case finding dan passive case finding.
Pada tahun 2019, ada 5.357 kasus. Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang tahun sekarang. Ada beberapa penyebab angka ini turun, salah satunya akibat pandemi Covid-19. “Pandemi Covid-19 ini sedikit banyak membatasi gerak petugas dan tim dalam mencari kasus baru,” ujarnya.
Ditambahkannya, untuk tahun 2018, jumlah kasus positif TBC baru mencapai 4.569 kasus. Dari angka tersebut, 4.149 kasus dinyatakan sembuh. Sementara sisanya masuk ke dropout dari program, putus berobat serta meninggal dan pindah pengobatan.
“Kalau target 90 persen tingkat kesembuhannya. Capaian kita selama ini sudah melampaui target. Pada tahun 2019 itu, sekitar 91 persen dan tahun 2018 sekitar 93 persen. Targetnya sendiri 90 persen,” imbuhnya.
Untuk kasus meninggal karena TBC, dari data yang diberikan oleh Dinkes Kabupaten Cirebon, tercatat ada 104 orang meninggal dunia pada tahun 2018. Dari jumlah tersebut, angka case fatality rate (CFR)-nya sekitar 2,22 persen. Di tahun 2019 hingga periode Januari hingga Juni, tercatat ada 54 orang meninggal dunia dengan CFR sekitar 1,9 persen.
“Waktu pengobatan TBC memang tidak sebentar dan harus kontinyu, tidak boleh putus. Waktunya antara 6 sampai 8 bulan. Kalau putus harus mulai dari awal lagi. Ini yang akhirnya banyak penderita yang drop out atau berhenti pengobatan karena jenuh,” bebernya.