Benda Kerep, Puluhan Tahun ”Karantina Wilayah”

Benda Kerep, Puluhan Tahun ”Karantina Wilayah”
Abu Janda ---FOTO: JURNAL PRIANGAN
0 Komentar

Suasananya sepi. Lalu-lalang orang, didominasi mereka yang berbusana sarungan dan berkerudung. Budayanya kental. Masyarakatnya patuh. Termasuk soal larangan untuk tidak memakai benda elektronik di dalam rumah, juga larangan menggunakan sepeda.

DI tengah wabah corona virus disease (covid-19), beragam istilah bermunculan. Mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB), karantina wilayah dan sejenisnya.
Saat masyarakat mengalami kejenuhan, kawasan ini justru sudah ratusan tahun tetap bertahan dengan karantina wilayah. Ala mereka tentunya. Namun dengan tujuan melindungi warga dari hal-hal yang memang dilarang.
“Sepeda Dilarang Masuk..!! Taati Sesepuh Kita,” bunyi kalimat larangan tersebut, dengan huruf kapital, ditempelkan di salah satu dinding bangunan.
Wilayah yang dimaksud adalah Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Untuk masuk ke kawasan pesantren, kita harus lebih menyeberangi sungai tanpa jembatan. Hanya ada beberapa titian, seperti pemecah arus. Airnya kebetulan sedang surut. Baru sampai bibir sungai, kalimat larangan tertulis jelas walau warnanya agak sedikit pudar.
Gemericik air sungai itu masih terdengar puluhan meter menuju permukiman warga. Terus ke dalam, hanya ada beberapa warga yang kebetulan sedang di luar rumah. Ada yang sedang menjemur pakaian, mengasuh anak, dan macam-macam.
“Masih lurus, di samping masjid,” ujar salah seorang warga yang usianya lebih dari setengah abad, ketika saya menanyakan rumah KH Muhammad Miftah, pengasuh Pesantren Benda Kerep.
Kiai Miftah dikenal sebagai pemuka agama setempat. Orang yang bersahaja, ramah, termasuk ketika Radar Cirebon meminta izin untuk bertemu dan bertanya soal kepercayaan masyarakat setempat mengenai larangan-larangan yang masih berlaku hingga sekarang.
Menyambung larangan memakai sepeda yang disebut diawal, sepanjang jalan menuju rumah beliau, saya juga tidak mendengar adanya suara, baik itu dari televisi atau radio. Ternyata memang tidak diperbolehkan. Sudah berlaku puluhan, bahkan ratusan tahun. Sebelum zaman kakek dan nenek Kiai Miftah itu sendiri.
Beliau (Kiai Miftah), menjelaskan lebih lanjut soal larangan-larangan itu. Dan yang tidak diduga juga, aturan tersebut erat kaitannya dengan penularan risiko penyakit melalui benda. Meminimalisasi risiko lebih tepatnya.

0 Komentar