“Dari Dulu, Kondisi Apapun, Belum Pernah Tak Jumatan, Termasuk dengan Azan Pitu”

ilmi-saluran irigasi (7)
KEMBALI DISOROT: Pencemaran limbah batu alam kembali disorot. Mengingat, sudah 10 tahun lebih belum ada penanganan serius oleh pemerintah daerah. FOTO: ILMI YANFAUNNAS/RADAR CIREBON
0 Komentar

Azan pitu selalu menghadirkan kesan tersendiri. Untuk mereka yang mengikuti salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Nadanya berbeda dengan azan yang sehari-hari kita dengar. Dilantunkan tujuh orang bersamaan.  Tak ada persiapan yang istimewa. Juga tak ada latihan menyamakan nada. Langgam. Semuanya sudah paham tugas masing-masing.
Ini memungkinkan terjadi karena muazin Azan Pitu ini turun temurun. Bukan hanya personelnya. Tapi juga cara melafalkannya. Pada Jumat sebelumnya, Ustad Fatoni, Adnan, Ismail, Zaenal, Bajuri, Apud dan Munadi, yang bertugas.
Mendekati waktu duhur, mereka mulai mengambil wudhu. Kemudian mengenakan sorban hingga jubah putih. Tapi di pekan sebelumnya yang bertugas menggunakan jubah hijau. Pakaian putih menjadi penanda petugas kaum yang melantunkan Azan Pitu itu dari Keraton Kasepuhan. Petugas Kaum Keraton Kanoman yang melakukan Azan Pitu biasanya mengenakan gamis hijau.
Para muazin ini mulai bersiap diri sekitar pukul 11.20 WIB. Begitu waktu salat kian dekat, barulah mereka masuk ke dalam masjid. Sudah ada shaf khusus. Persis di tengah masjid. Mereka kemudian memimpin jamaah salat bersalawat. Sampai masuk waktu salat. Tujuh muazin itu berdiri berjajar sambil menempelkan kedua tangan di samping telinga.
Barulah dimulai azan yang dilakuan tujuh orang ini berkumandang.  Suara yang dihasilakan berbeda dari azan salat baisanya. Salah satu muazin, Ismail menyebutnya bak paduan suara. “Sebetulnya nggak ada nadanya,” ucap dia, yang berbincang dengan wartawan Radar Cirebon sebelum menunaikan tugasnya.
Muazin Azan Pitu ini tak pernah berlatih untuk menyamakan nada. Mereka sudah memahami satu sama lainnya. “Yang penting panjang pendeknya sama,” lanjut Ismail.
Secara struktural, ada kepengurusan kaum yang ditunjuk di Masjid Sang Cipta Rasa. Dari Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Pengurus kaum itu untuk rutinitas sehari-hari 24 orang. Kepala kaum-nya ada dua orang. Dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman. Ditambah juga petugas imam rawatib ada empat. Syamsuri, salah satu petugas kaum menyebutkan, jumlah pengurus ini 30 orang.
Menjadi petugas kaum biasanya turun temurun. Tapi kalau tidak ada yang melanjutkan, biasanya mencari kerabat atau orang yang berada di sekitar Masjid Agung.  Selain melestarikan tradisi yang sudah turun temurun, ada tugas mulia yang diemban muazin. Tugas itu tentu saja memanggil jamaah untuk melaksanakan salat. Munadi misalnya. Menjadi Muazin azan pitu baginya adalah kebanggaan.

0 Komentar