Gagal Bahasa Masalah PT PUS

konflik-gtc
Dari kiri, Dirut PT PUS Frans Simangatua, Dirut PT TSU Ramli Simanjuntak, Pengacara PT TSU Dr H Eka A SH MH, saat melaksanakan pertemuan dengan internal PT PUS, Kamis (12/11). Foto: Foto: Okri Riyana/Radar Cirebon
0 Komentar

CIREBON – PT Toba Sakti Utama (TSU) melakukan pemanggilan terhadap PT Prima Usaha Sarana (PUS), Kamis (12/11). Pertemuan ini dilakukan untuk meminta pertanggung jawaban dalam pengelolaan gedung Gunungsari Trade Centre (GTC).
Pertanggung Jawaban diminta karena PT PUS melakukan pengelolaan sejak tahun 2012. Sebelum akhirnya diserahkan kembali kepada PT PUS awal Oktober lalu.
Pertemuan ini, dihadiri oleh Direktur PT PUS Frans Simangatua, namun komisaris PT PUS Wika Tendean berhalangan hadir. Sehingga pertemuan tersebut rencananya akan diagendakan ulang Selasa (17/11) pekan depan.
Dalam kesempatan itu, Frans mengatakan, sejak tahun 2012 lalu pihaknya mendapatkan penunjukan dari PT TSU untuk melakukan pengelolaan operasional GTC dan pemasarannya.
Selama beberapa waktu, dia yang berposisi sebagai direktur, kebetulan sedang banyak urusan bisnis di luar. Sehingga operasional bisnis pengelolaan GTC lebih banyak dikelola oleh komisaris PT PUS.
Meski demikian, Frans mengungkapkan, hal tersebut bukan karna didasari konflik atau perselisihan paham antara dirinya dengan komisaris. Justru pengelolaan bisnis yang lebih banyak di-handle oleh komisaris sudah atas kepercayaannya, yang menganggap jika Wika Tendean lebih berpengalaman berbisnis di sektor tersebut.
Hanya saja, dalam perjalanan bisnis tersebut, beberapa tahun berikutnya laporan keuangannya kurang transparan. Memang diakuinya, perjalanan bisnis pengelolaan GTC belum menghasilkan keuntungan seperti yang diharapkan.
Padahal, sebagai perusahaan yang ditunjuk PT TSU selaku pemegang kontrak build operate transfer (BOT) dari Perumda Pasar Berintan, PT PUS mesti menjalankan kewajibannya berbagi deviden. Namun, sampai saat ini di internal PT PUS sendiri belum bisa menggelar rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk menghitung keuntungan deviden atau kerugian yang terjadi.
Di sisi lain, seiring berjalanya waktu, kondisi bangunan gedung GTC terus mengalami penyusutan dan hal tersebut wajar secara alamiah. Tapi, ada juga kerusakan yang mesti diperbaiki dan menjadi tanggung jawab PT PUS.
Ketika berakhirnya kontrak BOT, PT TSU punya kewajiban mengembalikan atau menyerahkan kembali gedung GTC kepada Perumda Pasar dalam kondisi yang utuh.
“Jadi, pertemuan ini lebih ke pertanggung jawaban kami (PT PUS) atas kondisi Gedung GTc setelah diserahkan kembali ke PT TSU,” ujarnya.

0 Komentar