Luruskan Sejarah Peteng Keraton Kasepuhan

Luruskan Sejarah Peteng Keraton Kasepuhan
Pangeran Raja Hempi Raja Kaprabon FOTO: KHOIRUL ANWARUDIN RADAR CIREBON
0 Komentar

  
CIREBON – Konflik yang terjadi di Keraton Kasepuhan, menambah daftar panjang polemik yang terjadi di internal keluarga kerajaan kerajaan di Indonesia. Perebutan takhta kekuasaan, telah silih berganti mengisi lembaran sejarah bangsa indonesia.
Kisruh perebutan tahta Keraton Kasepuhan Cirebon kembali memanas. Rahardjo Djali yang merupakan keturunan Sultan Sepuh XI kembali mengusik kuasa kesultanan saat ini yang masih dipegang putra mahkota, PRA Luqman Zulkaedin.
Sebelumnya Rahardjo Djali juga menggegerkan publik usai menyatakan telah mengambil kekuasaan dari Sultan Sepuh XIV, Sultan Arief Natadiningrat.
Kekisruhan terkait perebutan takhta tersebut, kata sejarawan yang juga Sultan Kaprabonan Pangeran Raja Hempi Raja Kaprabon bukan sesuatu yang baru. Bahkan, dirinya menyebut situasi yang terjadi saat ini merupakan hal yang wajar.
“Sebelumnya, saat Sultan Arief dinobatkan sebagai putra mahkota, tahun 2001 masalah seperti ini juga mencuat. Banyak pihak yang merasa bahwa Sultan Arief bukan sosok yang tepat,” ungkapnya kepada Radar Cirebon.
Kisruh yang membayangi takhta Keraton Kasepuhan pasca mangkatnya Sultan Sepuh XIV, Sultan Arief Natadiningrat bukan hal baru. Hal tersebut katanya, memaksa semua pihak untuk membuka sejarah gelap yang pernah terjadi di kesultanan Cirebon.
Sejarah gelap atau orang Cirebon menyebutnya sejarah peteng memang selalu mencuat dalam pergantian kekuasaan dari satu sultan ke sultan penerusnya. Sejarah peteng diawali dari terbunuhnya Sultan Sepuh V Pangeran Muhammad Syafiudin Matangaji pada 1786 oleh pemerintah kolonial Belanda.
Setelah Sultan Sepuh V wafat, Ki Muda atau Sultan Hasanudin yang bukan trah Sunan Gunung Jati dilantik menjadi Sultan Sepuh VI oleh Pemerintah Belanda. Pasca mangkatnya Sultan Matangaji, seharusnya posisi tersebut diserahkan kepada adik Sultan Matangaji, yakni Pangeran Suryanegara.
Dari situ dianggap ada pelanggaran. Namun hal tersebut bisa dimaklumi. Mengingat saat itu secara politik kekuasaan berada di tangan pemerintahan Belanda melalui VOC-nya.
“Sultan Sepuh VI diangkat bukan atas dasar trah atau nasab yang berasal dari keturunan Sunan Gunung Jati. Tapi ia abdi dalem dan saudara istri selir Sultan Sepuh IV yang berasal dari Talaga, Majalengka,” ungkapnya.

0 Komentar