Sentimen PKI di Masa Lalu, Tak Ingin Vihara Jadi Komersil

0 Komentar

Sambil menodong pistol, kata Henry, orang itu meminta pengurus kelenteng untuk menandatangani kesepahaman kalau SHGB diserahkan atas dasar sukarela. Tanpa paksaan.
“Peristiwa itu terjadi tahun 1996, jadi PKI yang mana. Terus Yayasan Buddha Metta juga kan atas rekomendasi Kementerian Agama, mana mungkin PKI. Di zaman itu, jadi PKI susah banget hidupnya. Jangankan mau bikin yayasan. Jadi gak mungkin dan tuduhan itu tidak berdasar,” terang Henry.
Melalui petisi yang dibuat, Henry ingin masyarakat mengetahui pangkal persoalan yang terjadi. Diharapkan menggugah rasa peduli. Meski sampai saat ini dia mengaku tak mengetahui secara pasti di mana atau siapa yang menyimpan SHGB tersebut.
Namun dia mengantongi nama-nama atau instansi yang disebut sebagai petunjuk. Tapi tak ingin dia beberkan ke publik lebih dulu. Karena alasan tertentu.
Henry menuturkan, karena beberapa hal SHGB tersebut dibekukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dasar itu kelenteng juga tak bisa membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) setiap tahunnya.
Henry memiliki kekhawatiran jika kondisi ini terus berlanjut –SHGB tak kunjung di tangan. Karena besar potensi terjadi gugatan. “Seperti yang terjadi di Magelang dan Semarang, di mana kelenteng jadi tempat komersil. Masa masuk kelenteng harus bayar dan sebagainya yang menguntungkan salah satu pihak; kami tidak ingin seperti itu,” jelas Henry.
Karena, imbuh ia, kelenteng merupakan tempat yang membawa damai dan berkah. Wadah interaksi sosial. Kegiatan sosial juga rutin diselenggarakan. Yayasan Buddha Metta, sambung Henry, mencakup lahan Kutiong atau komplek pemakaman warga Tionghoa di Harjamukti, Kota Cirebon.
Namun Henry mengaku tak memersoalkan itu. Selama masih dijadikan lahan pemakaman dan menyumbang RTH di Kota Cirebon. “Punya siapapun sama saja fungsinya buat kuburan dan area hijau,” jelasnya.
Belum lama Henry mendengar dari sumber yang bisa dipercaya kalau lahan Kutiong atau komplek pemakaman Tionghoa tersebut akan digugat oleh salah satu pihak. Henry santai. Menurutnya, yang bisa menggugat Kutiong hanya kelenteng.
Karena berdasar dokumen perjanjian yang pernah Henry lihat, tanah Kutiong seluas sekitar 23 hektar tersebut telah dibayar/dibeli dari Keraton Cirebon. “Di dokumen perjanjian itu tertulis tanah tersebut (Kutiong, red) dibayar dari Keraton seharga 3.500 Gulden (mata uang Belanda, red). Dibeli oleh Mayor Tacinki, ketua yayasan sini (Buddha Metta, red),” papar Henry.

0 Komentar