Mengapa Kita di Titik Ini?

0 Komentar

Sementrara Muhammad Isnur dari YLBHI mengatakan pemerintah bertanggung jawab atas kondisi krisis ini. Sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU HAM, di mana hak kesehatan dijamin oleh negara. Pemerintah juga dianggap mengabaikan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, di mana sebenarnya UU tersebut memiliki kajian epidemiologi yang kuat.
Muhammad Isnur mengkritisi tidak adanya PP terhadap UU Nomor 6/ 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang membuat kondisi sekarang kacau karena ada kekosongan hukum yang mengakibatkan adanya tumpah tindih kebijakan dan komando.
Sedangkan Herlambang Wiratraman menegaskan ada tiga kegagalan. Pertama, tingginya angka kasus Covid-19. Kedua, ambruknya RS karena ketidaktersediaan oksigen sehingga banyak warga meninggal, serta kegagalan ketiga adalah tingginya angka nakes yang meninggal dunia.
Dia menegaskan kegagalan pemerintah terjadi karena pemerintah abai. Alih-alih menutup dan membatasi mobilitas, malah mempromosikan mobilitas dengan berwisata. Penyebab kedua adalah lambatnya pemerintah pusat dalam menanggapi ledakan kasus Covid-19.
Kemudian, pemerintah terlalu fokus pada ekonomi. Keempat, pemerintah masih denial akan ledakan kasus. Kelima, pemerintah tidak mengupayakan secara sistematik upaya 3T dan pembungkaman terhadap mereka yang menyuarakan atau mengkritisi penanganan pandemi.
Menurut Herlambang Wiratraman, banyaknya nyawa yang tidak tertolong karena kolapsnya rumah sakit merupakan bentuk kegagalan pemerintah. “Kematian yang tak bisa diantisipasi dengan penyediaan layanan medis, menunjukkan fakta jelas tentang kegagalan negara dan dapat disebut sebagai constitutional failure. Pemerintahan Jokowi harus meminta maaf terbuka dan menegaskan tanggung jawab hukum dan politiknya,” jelas Herlambang Wiratraman.
Selanjutnya, Lalola Easter dari ICW mengatakan fokus pada penyebab adanya korupsi di masa pandemi. “Pemerintah sudah salah langkah dari awal. Masih banyak serapan anggaran rendah untuk penanganan Covid-19. Ironisnya, program infrastruktur yang tak urgent tetap dilanjutkan. Semestinya realisasi anggaran difokuskan untuk pengendalian pandemi agar RS tidak ambruk,” katanya.
Korupsi memperparah pandemi, karena sebenarnya serapan anggaran Covid-19 dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan. “Kami melihat pemerintah tidak benar-benar mendengarkan suara rakyatnya. Gawat daruratnya situasi saat ini menunjukkan bahwa suara-suara ahli kesehatan masyarakat, sosiolog, mahasiswa, dan banyak lagi mereka yang bukan berafiliasi dengan pemerintah yang berteriak sekuat tenaga mengingatkan dan berniat baik membantu mengendalikan pandemik, tapi tidak dipedulikan,” ujarnya.

0 Komentar