Ia menjelaskan bahwa sebenarnya pemkot memiliki kewenangan untuk melakukan refocusing terhadap anggaran. Namun, hampir semua anggaran di BKD sudah terplot dan sudah direncanakan penggunaannya. Sehingga agak menyulitkan dalam perubahan anggarannya. “Tahun 2020 diminta dibayarkan dari DAU atau PAD, kita agak kerepotan karena nilainya cukup besar yakni Rp13 miliar. Nah itu yang belum bisa kita akomodir,” imbuh Arif.
Pihaknya saat ini sudah melakukan pengiriman surat terhadap Kementerian Kesehatan dengan tembusan kepada Kementerian Keuangan terkait permintaan bantuan pemenuhan insentif tenaga keseahtan tahun 2020.
“Kementerian Keuangan juga sudah meminta data terkait hal tersebut. Yang intinya mereka ingin punya data bagaimana penganggaran di daerah sampai-sampai anggaran tersebut tidak bisa digunakan untuk membayarkan insentif nakes karena anggaran yang sangat terbatas,” sambung Arif.
Hingga saat ini, pihaknya terus menunggu tindak lanjut dari surat yang sudah dikirimkan kepada Kemenkes tersebut. Apakah anggarannya nanti dari APBN ataukah dikembalikan ke anggaran pemda. Arif juga meminta kesediaan Kementerian Kesehatan untuk mengakomodir ini secepatnya karena petugas mulai keberatan dan kelelahan.
Ia menjelaskan, RSDGJ yang menjadi RS Rujukan Covid-19 seharusnya mendapat support operasional dari provinsi maupun pusat. Apalagi pasien yang masuk ke RSDGJ tak hanya warga Kota Cirebon, melainkan dari Wilayah III, bahkan di luar Ciayumajakuning.
“Jadi wajar harusnya ada pembiayaan dari provinsi atau dari pusat untuk mendukung operasional RSDGJ. Dari kita iya ada, tapi jangan sepenuhnya dibebankan semua ke Kota Cirebon, kita tidak sanggup. Sejauh ini belum ada jawaban dari Kemenkes. Mungkin daerah lain yang punya RS Rujukan juga sama,” tutup Arif. (jerrell)