Ketidakpuasan di masa lampau itu, sambungnya, juga yang mendorong kerabat Matangaji melakukan pemberontakan atau yang dikenal sebagai pemberontakan Cirebon. Pemberontakan ini diarahkan kepada Belanda yang dianggap sebagai pihak yang mengkooptasi keraton-keraton di Cirebon. “Terbunuhnya Sultan Matangaji oleh masyarakat dikenal sebagai Sejarah Peteng (Sejarah Gelap) Cirebon,” jelasnya.
Abidin mengatakan, ketidakpuasan masa lalu yang terakumulasi hingga sekarang mendapatkan momentumnya. Yaitu saat Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat sakit. Di mana saat itu Rahardjo Djali yang merupakan cucu Sultan Sepuh XI menyegel pintu Keraton Kasepuhan.
“Dan eskalasi masalah makin membesar setelah Sultan Arif meninggal. Rahardjo mempertanyakan kemurnian asal-usul Sultan Arif yang kemudian digantikan Lukman Zulkaedin. Kemudian mencoba menggalang kekuatan untuk merebut takhta dari Lukman. Puncaknya jumenengan Rahardjo yang mengangkat diri sebagai Sultan Aloeda II,” bebernya.
Topik “kemurnian” asal-usul sultan, kata Abidin, semakin menguat dengan munculnya pihak yang merasa diri sebagai dzuriyah atau keturunan dari Sunan Gunung Jati. Mereka itu berpendapat yang lebih menitikberatkan pada prinsip. Bahwa sultan-sultan setelah Sultan Matangaji (Sultan Sepuh V), bukanlah pewaris Kanjeng Sunan Gunung Jati.
Alasannya, saat Matangaji terbunuh, yang kemudian menjadi sultan bukan trah langsung Sunan Gunung Jati. Alhasil, Sultan VI Kasepuhan hingga sekarang dianggap tidak punya legalitas nasab (keturunan) sebagai sultan. “Prinsip ini sekurang-kurangnya dianut oleh pihak Pangeran Kuda Putih dan pihak Kerabat Kesultanan Cirebon yang dimotori oleh Ratu Mawar dari Keraton Kanoman,” terang Abidin.
Jadi, sambung dia, kompleksitas masalah sekarang adalah perbedaan prinsip keabsahan sultan. Yaitu antara pihak yang bersikukuh bahwa sultan seharusnya diambil dari garis keturunan langsung Sunan Gunung Jati, melawan pihak yang mengambil prinsip legal formal bahwa semenjak Sultan Vl sampai Sultan XV adalah sultan yang sah. Karena negara pun tak mempersoalkan legalitasnya, baik di masa kolonial maupun di era kemerdekaan.
“Persoalan menjadi semakin pelik ketika terjadi konflik antara Rahardjo Djali dan pihak Lukman Zulkaedin. Pokok soalnya, pihak Rahardjo menganggap Sultan Arif maupun Lukman bukanlah cucu/cicit biologis Sultan Sepuh Xl (Sultan Aloeda). Rahardjo menganggap dirinyalah cucu sah dari Sultan Aloeda, meski secara trah bukan dari ayahnya,” tuturnya.