Aparatur Sipil Negara dan Keugaharian

ASN
Ilustrasi ASN. Foto: Istimewa/radarcirebon.id
0 Komentar

Sayangnya, konsep ini semakin tergerus. Setidaknya kita dapat melihatnya pada dua kasus yang disebutkan di awal tadi; para pejabat itu malah merasa lebih dihargai ketika mereka mampu memamerkan kekayaan, status sosial, dan kemampuan mengangkangi hukum.

Menariknya, pada tahun 2014, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pernah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 yang berisi tentang Gerakan Hidup Sederhana bagi ASN. Isi dari surat edaran tersebut cukup jelas: mengimbau para ASN untuk tidak hidup berlebihan, tidak memamerkan kemewahan, dan menjalani kehidupan yang lebih sederhana. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan citra positif bagi aparatur negara di mata publik dan untuk menghindari praktik-praktik korupsi yang berawal dari gaya hidup hedonistik.

Namun, ada sebuah paradoks yang muncul di balik surat edaran ini. Jika hidup sederhana sudah menjadi nilai luhur yang diajarkan di dalam tradisi dan budaya kita, mengapa kita perlu sebuah surat edaran untuk mengingatkan ASN agar hidup sederhana? Bukankah seharusnya nilai tersebut sudah tertanam dalam diri setiap ASN sebagai bagian dari tanggung jawab moral mereka?

Baca Juga:Partai Golkar Umumkan 5 Calon Ketua DPRD Indramayu, H Muhaemin Masuk BursaSoal Perbaikan Jalan Rusak, Ketua Komisi III DPRD Cirebon: Bukan hanya Omon-Omon

Dengan adanya surat edaran ini, kita justru menyaksikan sebuah kenyataan pahit: keugaharian sudah menjadi sesuatu yang begitu langka dan terlupakan, sehingga perlu diingatkan dengan regulasi formal. Seolah, ada semacam pengakuan bahwa gaya hidup ASN kita sudah jauh dari harapan. Mereka seolah dipaksa untuk diingatkan bahwa hidup yang sederhana bukanlah aib, malah sebaliknya, itu adalah simbol integritas dan kejujuran.

Jika kita terus berbicara tentang penyimpangan ini, kita tidak bisa hanya menyalahkan satu faktor. Bisa jadi, sistem yang ada saat ini memang memberikan celah yang cukup lebar bagi penyimpangan-penyimpangan itu terjadi. Banyak teori yang mungkin saja bisa diungkapkan ihwal tidak akuratnya sistem formal yang berlaku.

Namun, ada hal yang lebih mendasar: kita sedang menghadapi kegagalan dalam paradigma memahami makna jabatan publik itu sendiri. Ketika seorang ASN lebih merasa bangga dengan apa yang ia miliki secara materi, daripada apa yang ia berikan untuk masyarakat, maka kita tahu ada yang salah dalam sistem dan cara pandang kita terhadap jabatan publik. Ketika menjadi ASN lebih dianggap sebagai “kesempatan untuk kaya raya” daripada sebagai kesempatan untuk mengabdi pada negara, maka kita telah kehilangan arah.

0 Komentar