Markesot: Arsitek Kesadaran Kaum Terpinggirkan

Emha Ainun Najib
Emha Ainun Najib. Foto: Istimewa.
0 Komentar

Mereka adalah manusia-manusia yang tidak nyaman di dunia, dan dunia pun tampaknya tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Dan saya sempat terpikat pada itu semua. Pada absurditas. Pada pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.

Pada renungan yang tidak berujung. Tetapi dari semua itu, yang paling saya ingat adalah rasa lelah. Sebab filsafat absurditas mengajak kita untuk tetap hidup meskipun tahu semuanya tidak punya makna. Bahwa keberanian terbesar manusia adalah tetap berjalan, meski tahu akhirnya hanya dinding hampa. Itu menggugah, tentu saja. Tetapi juga menguras tenaga. Sampai saya bertemu Markesot.

Ia juga absurd, tetapi dengan cara yang berbeda. Ia tidak bisa dipahami oleh sistem kekuasaan yang mengukur segalanya dengan angka. Ia tidak diterima utuh oleh tata agama formal yang terlalu mengatur. Ia juga sulit dicerna oleh para ekonom yang bicara efisiensi dan pertumbuhan. Tetapi dari ketidaktercernaannya itulah justru muncul makna yang paling jernih. Markesot adalah jenis manusia yang ketika dunia memintanya lurus, ia justru membelok—bukan untuk melawan, tetapi untuk menemukan jalan pulang yang lebih sunyi.

Baca Juga:Dukung Ketahanan Pangan Nasional, Desa di Indramayu Tanam Ribuan Pohon SukunIndramayu Sukses Jaga Ketahanan Pangan Nasional, Lucky Hakim – Syaefudin Dapat Penghargaan dari PWI Pusat

Berbeda dengan Meursault yang menjauh dari Tuhan, atau Ivan Karamazov yang menolak rencana ilahi, Markesot tidak mendebat Tuhan. Ia justru menyapa Tuhan dengan cara yang sangat manusiawi: dengan tertawa, dengan mencibir, kadang dengan tangis diam-diam. Ia tidak menjadikan Tuhan sebagai sistem, tetapi sebagai sahabat yang bisa diajak bercakap dalam batin. Markesot tidak menantang langit, tetapi juga tidak buta terhadap luka di bumi.

Itulah mengapa Markesot bisa menawarkan harapan, sementara tokoh-tokoh eksistensialis klasik lebih sering meninggalkan kekosongan. Harapan dalam versi Markesot bukanlah optimisme palsu, bukan juga slogan motivasi, tetapi harapan yang tumbuh dari pengakuan akan luka, ketidaktahuan, dan keterbatasan. Harapan yang tidak dipaksakan, tetapi mengalir—seperti air sumur tua yang jernih karena tidak terus-menerus diaduk.

Markesot tidak menyuruh kita kuat, tetapi mengajarkan bahwa rapuh pun tidak apa-apa. Tidak menjadi seperti orang lain juga bukan masalah. Dunia terlalu sibuk meminta kita jadi sama. Tetapi Markesot, dengan cara jalan pincangnya, justru mengajarkan bahwa keanehan adalah tanda bahwa kita masih hidup sebagai diri sendiri. Karena memang begitulah hidup: tidak harus dimengerti seluruhnya.

0 Komentar