Di forum Maiyah, ia tidak menggurui. Di tulisan-tulisannya, ia tidak menuntut untuk dikutip. Ia hanya menabur benih makna, lalu membiarkannya tumbuh di tanah batin pembaca. Karena ia tahu: makna yang dipaksa lahir biasanya mati muda.
Kita hidup dalam era di mana semua hal harus tampil. Penderitaan pun harus layak tonton. Marah pun harus punya audiens. Kebijaksanaan dikemas seperti snack—cepat saji, mudah cerna, shareable. Namun, Mbah Nun menolak menjadikan kebajikan sebagai konten. Ia tidak menjual ketenangan sebagai produk. Ia menepi, bukan karena takut dilupakan, tetapi karena tahu: kehadiran sejati justru bekerja dari kejauhan.
Hikmah, kata Mbah Nun tanpa mengucapkannya, tidak lahir dari ruang penuh koor, tetapi dari kesunyian yang bersih dari kepentingan. Ia bukan sesuatu yang bisa dipoles agar tampak bijak. Ia lahir dari luka yang tidak diumbar. Dari cinta yang tidak ditagih. Dari pengalaman batin yang utuh—dan sering kali, pedih.
Baca Juga:Dukung Ketahanan Pangan Nasional, Desa di Indramayu Tanam Ribuan Pohon SukunIndramayu Sukses Jaga Ketahanan Pangan Nasional, Lucky Hakim – Syaefudin Dapat Penghargaan dari PWI Pusat
Orang yang membawa hikmah jarang terdengar paling keras. Mereka justru yang paling banyak kehilangan: pernah dicintai dan dikhianati, dipuja dan disingkirkan, dipanggil guru lalu dicurigai sebagai musuh. Dan mereka membalas zaman bukan dengan caci, tetapi dengan pengertian.
Maka tidak heran, Mbah Nun tidak tergesa menyatakan sikap setiap kali publik ribut. Ia tahu: suara yang terlalu cepat muncul seringkali hanya gema dari ego, bukan hasil dari perenungan. Justru karena itu, keberaniannya paling murni—ia berani tidak menjadi bagian dari keramaian. Sunyi yang ia pilih bukan bentuk absen, tetapi bentuk kehadiran yang tidak bisa diatur. Ia tidak tampil setiap hari, tetapi sekali datang, mengubah cara orang melihat hidup. Dan mungkin hanya mereka yang betul-betul berani hidup dalam sunyi—sunyi dari sorotan, dari pujian, dari citra—yang mampu menyampaikan hikmah tanpa suara.
Hari ini, ketika orang ramai-ramai berbicara agar dianggap peduli, kita rindu sosok seperti Markesot—yang tidak menawarkan pencerahan, tetapi memancarkannya. Ia tidak menuntut diyakini. Ia hanya menghidupi apa yang diyakininya. Dan itu cukup. Karena pada akhirnya, hikmah tidak perlu ramai. Ia hanya perlu tulus. Dan nyata.