EPILOG: KADO UNTUK YANG TIDAK PERNAH MINTA DIRAYAKAN
27 Mei tahun ini, usia Mbah Nun genap 72 tahun. Tidak akan ada pesta megah. Tidak akan ada baliho besar bertuliskan “Dirgahayu Budayawan Kami”. Tidak akan ada panggung resmi dengan protokol lengkap. Dan tidak perlu ada semua itu. Sebab Mbah Nun, sejak awal, sudah memilih jalan yang tidak butuh perayaan. Ia sudah merayakan hidup dengan caranya sendiri—diam-diam, tetapi terus menerangi.
Ia tidak membutuhkan perayaan karena dirinya sendiri adalah perayaan: perayaan atas keberanian untuk tidak ikut arus, perayaan atas kesetiaan pada nilai yang tidak laku di pasar kekuasaan, perayaan atas kemanusiaan yang tidak pernah dijual murah.
Ia hadir bukan dalam billboard atau headline berita, tetapi di percakapan warung, di peluk kesunyian orang yang sedang kehilangan arah, di air mata jamaah yang tidak tahu bagaimana cara menyebut Tuhan, tetapi tiba-tiba merasa dekat.
Baca Juga:Dukung Ketahanan Pangan Nasional, Desa di Indramayu Tanam Ribuan Pohon SukunIndramayu Sukses Jaga Ketahanan Pangan Nasional, Lucky Hakim – Syaefudin Dapat Penghargaan dari PWI Pusat
Mbah Nun tidak membangun universitas dengan gedung-gedung bertingkat, tetapi ia telah menjadi madrasah bagi ribuan orang—mereka yang hidup dalam keraguan, dalam gelisah, dalam luka. Ia tidak memberikan gelar, tetapi banyak yang merasa lulus dari ketidaktahuan karena pernah duduk di lingkaran Maiyah, atau sekadar membaca kalimat-kalimatnya yang seolah ditulis khusus untuk dirinya sendiri.
Sebagian orang menyebutnya budayawan. Sebagian lain menyebutnya kiai, penyair, seniman, pemikir jalanan. Tetapi buat saya, itu semua terlalu sempit. Sebab Mbah Nun adalah Markesot. Dan itu sudah cukup. Bahkan terlalu cukup.
Markesot tidak perlu menjadi ikon. Ia hanya ingin menjadi jalan setapak yang sepi, tempat orang bisa berjalan pulang ke dirinya sendiri. Ia tidak ingin disebut guru. Ia hanya ingin dikenal sebagai orang yang, di tengah kegaduhan, masih percaya bahwa manusia bisa diajak berbicara. Bahwa hidup bisa dijalani dengan sederhana, tetapi tidak sembarangan. Bahwa Tuhan tidak harus diteriakkan, cukup dihayati dengan hati yang bersih.
Saya tidak punya kado. Tidak ada bunga. Tidak ada buku pujian. Tidak ada sambutan yang berbunga-bunga. Hanya tulisan ini—yang mungkin kecil, mungkin remeh. Tetapi saya percaya, seperti yang panjenengan ajarkan: yang kecil, jika datang dari hati yang jujur, bisa melintasi batas-batas waktu dan nasib.