Terima kasih, Mbah. Terima kasih karena panjenengan telah mengajari saya untuk tidak tidak takut menjadi “bukan siapa-siapa.” Terima kasih karena panjenengan telah menunjukkan, bahwa menepi bukan berarti kalah. Bahwa diam bukan berarti tidak peduli. Bahwa menjadi manusia, cukup dengan menjaga akal sehat dan hati nurani, meski dunia mengolok-olok keduanya.
Selamat ulang tahun ke-72. Semoga umur panjang panjenengan terus menjadi jalan cahaya bagi saya yang masih sering tersesat di dalam terang. Semoga kesehatan dan ketenangan senantiasa mengiringi langkah-langkah sunyi panjenengan yang kami ikuti, pelan-pelan, sambil belajar memahami hidup.
Markesot tetap diam. Tetapi dari diamnya, saya belajar membaca arah pulang. Dan seperti yang panjenengan bilang: pulang itu bukan soal tempat. Tetapi tentang mengerti siapa diri kita, dan untuk apa kita dilahirkan.
Baca Juga:Dukung Ketahanan Pangan Nasional, Desa di Indramayu Tanam Ribuan Pohon SukunIndramayu Sukses Jaga Ketahanan Pangan Nasional, Lucky Hakim – Syaefudin Dapat Penghargaan dari PWI Pusat
Terima kasih, Mbah. Doa kami selalu mengiringi, meski mungkin tidak pernah terdengar. Tetapi saya tahu, panjenengan lebih percaya sunyi daripada suara. (*)
*Penulis adalah Penelaah Teknis Kebijakan pada Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan, Sekretariat Daerah Kota Cirebon