JAKARTA- Seringkali penyaluran bantuan sosial (bansos) memunculkan persoalan di tingkat bawah. Misalnya, mereka yang seharunya berhak menerima bansos, justru tak terdata. Sebaliknya, warga yang tergolong mampu, malah menerima bansos. Maka, butuh penggunaan data tunggal.
Pentingnya penggunaan data tunggal dalam proses penyaluran bansos, seperti disampaikan Menteri Sosial Saifullah Yusuf dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI. Pada forum itu, Mensos Gus Ipul menegaskan pentingnya penggunaan data tunggal penyaluran bansos, terutama untuk peserta bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional.
“Banyaknya bansos tidak tepat sasaran, hulunya adalah data yang tidak sinkron antar kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Maka kemudian terbit Inpres Nomor 4 Tahun 2025, karena data tunggal, yang memproses dan menentukan ya tunggal hanya BPS,” kata Gus Ipul di hadapan anggota dewan di Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Baca Juga:Bertambah, Dapur Makan Bergizi Gratis Mulai Beroperasi di ArjawinangunSekda Kabupaten Cirebon Dicopot, Bupati Imron Sudah Tidak Sreg?
Dengan terbitnya Inpres tersebut, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah berkewajiban mendukung pemutakhiran data yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). “Apakah data hari ini sudah sempurna? Belum. Tapi kita sudah sepakat memulainya bersama,” lanjutnya.
Salah satu konsekuensi penerapan Inpres 4/2025 adalah penonaktifan lebih dari 8 juta data penerima PBI. Gus Ipul menegaskan bahwa meskipun jumlah tersebut besar, kuota tidak dikurangi, melainkan dialihkan ke penerima yang lebih berhak. “Kuota tetap. Tapi dialihkan kepada penerima manfaat yang kami anggap lebih berhak daripada 7 juta sebelumnya,” tegasnya.
Langkah itu diambil berdasarkan verifikasi lapangan atau ground check yang dilakukan Kementerian Sosial bersama BPS. “Apa pertimbangannya? Pertama hasil ground check kami. Kami turun ke lapangan dengan SDM yang kami miliki bersama BPS kepada penerima-penerima manfaat ini. Maka kemudian, ada 2 juta lebih ternyata dia sebenarnya tidak berhak menerima PBI,” jelas Gus Ipul.
Selain itu, pemeringkatan melalui sistem desil DTSEN juga menjadi dasar penilaian. “Kita lihat satu persatu desil 1 sampai 4. Tapi desil 5 dan seterusnya kita anggap tidak layak mendapatkan PBI. Maka kemudian jumlahnya ketemu 7 juta lebih, tambahan 800 ribu jadi 8 juta lebih sekarang (tidak layak PBI),” ujarnya di laman Kemensos.