2. Simpan Dana di Platform yang Tak Tersentuh PPATK
PPATK hanya bisa memantau transaksi dalam sistem perbankan nasional. Tapi para penjahat menyimpan uang mereka di beberapa lembaga keuangan digital.
Misalnya wallet kripto yang anonim dan tersebar di blockchain luar negeri. Akun fintech asing seperti Binance, Revolut, atau lainnya.
Bisa juga emas batangan, logam mulia, dan jam tangan mewah sebagai “bank diam-diam”. Bahkan rekening bank luar negeri yang tidak bisa diakses otoritas dalam negeri tanpa perjanjian internasional dan proses panjang.
3. Memecah dan Memutar Uang Lewat Layering
Baca Juga:Gelombang Tsunami Rusia Sudah Sampai Jepang, BMKG: Sampai di Indonesia Pukul 14.52 WITAGempa Bumi Rusia, BMKG Prediksi Tsunami sampai ke Indonesia Pukul 14.52 WITA
Daripada menyimpan miliaran di satu rekening, mereka sebarkan uang ke ratusan rekening kecil. Bisa transaksi bolak-balik ke berbagai platform digital. Transaksi fiktif via e-commerce, hingga membuat uang itu seolah-olah berasal dari “penjualan barang biasa”.
Transaksi itu disebut layering. Tujuannya untuk membingungkan jejak. PPATK bisa deteksi aliran pertama. Tapi setelah uang itu diputar ke-4, ke-5, hingga ke-10 kalinya? Mereka sudah kehilangan jejak.
4. Mendirikan Perusahaan Boneka atau Cangkang
Mereka mendirikan “CV” atau “PT” tanpa kegiatan nyata. Tapi bisa memutar uang haram yang kelihatannya dari usaha yang legal.
5. Libatkan Profesional: Konsultan, Pengacara, dan Notaris
Para penjahat tidak bekerja sendiri. Mereka bayar mahal, misalnya konsultan keuangan untuk menyusun skema pencucian uang.
Pengacara untuk menyiapkan dokumen hukum dan proteksi litigasi. Notaris untuk membuat akta-akta legal yang bisa mengaburkan kepemilikan uang. Dengan dukungan profesional, mereka tampak sah, meskipun busuk di dalam.
6. Manfaatkan Celah Regulasi dan Jaringan Kekuasaan
Yang paling tidak bisa ditandingi rakyat kecil, mereka punya akses ke kekuasaan. Mereka bisa tahu lebih awal jika PPATK akan perketat pengawasan. Mereka bisa lobby kebijakan. Bahkan, mereka bisa menyuap oknum di dalam sistem agar lolos dari sorotan.
Menurutnya, kebijakan ini, masih banyak kurangnya dan nyata-nyata menyusahkan masyarakat dengan banyak pertimbangan.
Baca Juga:Dampak Gempa Kamchatka Rusia, 10 Pesisir di Indonesia Berpotensi Tsunami Mulai Pukul 14.20 WITATarif Impor 19 Persen AS untuk Produk Indonesia, Ibarat Jalan Tol Gratis versus Jalan Biasa Berbayar
Sementara itu, Rudianto Lallo, anggota Komisi XI DPR, sudah menyampaikan bahwa kebijakan ini tidak layak. Tidak proporsional. Bahkan menimbulkan kegaduhan di masyarakat.