Apa Itu Nepo Kids, Pemicu Kerusuhan Besar di Nepal? Awas Bisa Menjalar ke Indonesia!

demo di nepal chaos
Demo di Nepal yang berubah menjadi chaos. Foto: Istimewa
0 Komentar

“Ah, justru di sinilah panggungnya. Anak-anak pejabat kita hidup dalam dunia paralel. Dunia di mana jalan menuju kekuasaan tidak pernah macet,” begitu Rosadi menjawab pertanyaannya sendiri.

Rosadi menjelaskan, anak-anak pejabat itu dilahirkan dengan karpet merah, langsung diarahkan ke kursi politik. Usia 25 tahun sudah menjadi anggota DPR, usia 30 tahun sudah menjadi ketua partai.

Sementara, tegas dia, rakyat biasa di usia seperti itu masih sibuk mengantre CPNS, melamar kerja, atau berjualan online, sekadar bertahan hidup.

Baca Juga:Reshufle Kabinet, Prabowo Sedang Bersihkan Orang-orang Jokowi? Istana Bilang BeginiHari ke Sepuluh, BBKSDA Sisir Hutan Lindung Terdekat Gunung Tangkuban Parahu

Rosadi pun membedakan sikap rakyat Nepal dengan Indonesia. Jika di Nepal rakyat marah dan membakar gedung. Di negeri ini, rakyat justru bertepuk tangan sambil berkata, “Wih, keren banget anak muda bisa jadi wakil rakyat.”

Padahal semua tahu, lanjut Rosadi, keren bukan karena prestasi, tapi karena marga keluarga. “Inilah ironi demokrasi, jabatan politik diwariskan seperti perusahaan keluarga,” sindir dia.

Nepo Kids, jelasnya lagi, tidak pernah tahu arti kesedihan rakyat. Mereka bicara soal inflasi di podium megah, padahal tidak pernah belanja sendiri di pasar.

Diungkapkannya, mereka membuat janji soal “ekonomi rakyat,” padahal satu-satunya ekonomi yang mereka kenal adalah laporan saldo trust fund dari orang tua. Mereka berbicara soal “perjuangan generasi muda,” padahal perjuangan paling keras yang mereka lakukan hanyalah memilih outfit mana yang cocok untuk konferensi pers.

Apakah ini salah anak-anaknya? Menurutnya, sebagian mungkin tidak. Tetapi salah sistem yang membiarkan kekuasaan menjadi warisan.

“Salah kita semua yang diam, menikmati sinetron dinasti politik yang tayang setiap lima tahun. Semakin lama kita menonton, semakin tebal rasa muak itu,” ujar dia.

Nepal, tambahnya, memberi pelajaran besar. Rakyat yang lapar keadilan tidak akan selamanya diam. Kesenjangan yang dipelihara, privilese yang dipamerkan, dan kekuasaan yang diwariskan pada akhirnya hanya menyulut api.

Baca Juga:Rasio Rata-rata Gaji Rakyat dan Anggota DPR di Indonesia, 1 Banding 27, Tertinggi di Banding Negara LainTeror Macan Tutul di Desa Cimenga, Ternak Milik Warga Sering Jadi Sasaran

“Karena rakyat sederhana hanya ingin hidup layak, makan cukup, dan tidak harus setiap hari dihina dengan pameran mewah anak pejabat,” ungkapnya lagi.

0 Komentar