RADARCIREBON.ID – Sejak seminggu belakangan ini, polusi udara Jakarta sedang hangat menjadi perbincangan banyak orang. Pasalnya, kualitas udara di Ibu Kota itu kian memburuk.
Semakin buruknya kualitas udara di Jakarta ini tentu dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang tinggal di kawasan metropolitan tersebut.
Sejumlah tindakan mulai dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat setempat. Misalnya saja dengan penggunaan masker di luar ruangan, penggunaan transfortasi umum, hingga himbauan work from home atau kerja dari rumah.
Baca Juga:Inilah 10 Parfum Tahan Lama di Indomaret Dengan Harga Terjangkau, Wanginya Memikat Dan Bikin Candu!Rahasia Wajah Awet Muda Cukup Gunakan Viva Air Mawar Sebelum Tidur, Begini Caranya!
Tak dinyana, polusi udara di Jakarta ini bukan saja terjadi belakangan ini. Namun jauh sebelum ini, polusi udara telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat urban Jakarta.
Bahkan jika ditelusuri lebih jauh, polusi udara di Jakarta ini sudah terjadi dari abad yang lalu atau lebih tepatnya pada abad 18 silam sejak wilayah tersebut masih bernama Batavia.
Melansir dari berbagai sumber, pada mulanya sejak Batavia dibangun pertama kali pada tahun 1621, kota ini digadang-gadang sebagai Ratu dari Timur karena keelokan dan keindahannya.
Namun hal itu tidak berujung lama, Batavia yang sediakala dijuluki Ratu dari Timur itu kini mulai terganggu seiring dengan keserakahan VOC untuk menguras sebanyak-banyaknya kekayaan alam Indonesia kala itu.
Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya sentra industri-industri di Batavia saat itu seperti pabrik gula, mesiu, batu bata dan industri lainnya.
Untuk kepentingan keuntungannya semata, VOC melakukan investasi masif dan besar-besaran dalam membangun lahan perkebunan, pertanian dan pabrik tanpa memikirkan dampak ekologis yang ditimbulkannya.
“Penebangan pohon demi perusahaan gula dan terlebih lagi penanaman padi yang memerlukan irigasi, berdampak cukup besar terhadap sungai. Setiap tahunnya didatangkan sekelompok orang Jawa lumput dari Cirebon untuk mengeruk parit dan kanal, tetapi mereka tidak mampu menahan pendangkalan; garis pantai cepat bergeser,” kata Sejarawan Hendrik E Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Belanda XVII (2012).