Harus Dikaji, Butuh Biaya Tinggi

peta-jawa-barat
0 Komentar

“Tapi sejak awal harus jelas dulu skenario ekonomi seperti apa? Kalau hanya sebatas perubahan nama, menurut saya lebih pada faktor sejarah, bahwa dulu Provinsi Sunda ada dalam peta dunia,” paparnya.
Sementara itu, Pengamat Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Parahyangan (Unpar) Prof Asep Warlan Yusuf menjelaskan, perubahan nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Tatar Sunda, bakal menuai polemik di berbagai tokoh di Jabar.
“Tidak sedikit orang yang menentang itu. Mengapa mereka menentang atau kurang setuju pada perubahan nama. Secara ekonomi semua nama-nama akan diubah jadi Sunda,” kata Prof Asep.
Dampaknya, akan membuat penghamburan anggaran. Sebab, dokumen-dokumen yang mengatasnamakan Jawa Barat akan menyulitkan para penggerak di bidang ekonomi.
“Termasuk juga dalam peta. Jawa Barat kalau diubah lagi, peta akan mengubah lagi nama itu. Sehingga ini akan menyulitkan mereka yang akan bergerak di bidang bisnis. Secara pergaulan internasional itu akan menyulitkan,” katanya.
Dijelaskannya, perubahan nama menjadi Sunda akan menyebabkan primodial. Karena Jabar punya Cirebon dan DKI yang berdekatan. “Nah itu bukan Sunda saja. Karena Cirebon itu Jawa, bukan Sunda. Nah Betawi juga bukan Sunda. Misalnya dia di Bekasi atau di Depok, itu sudah mengarah ke Betawi ke Jakarta. Meski, secara geografis ada di Jawa Barat,” terangnya.
Untuk diketahui, usulan mengganti nama Jawa Barat (Jabar) menjadi Provinsi Tatar Sunda mengemuka. Beragam reaksi muncul dari berbagai pihak, termasuk kepala daerah di Jabar.
Wacana penggantian nama provinsi ini muncul setelah sejumlah tokoh Sunda menggelar Kongres Sunda di Aula Rancage Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Kota Bandung, Senin (12/10). Acara ini dihadiri sejumlah tokoh Sunda, di antaranya Memet H Hamdan, Maman Wangsaatmadja, Iwan Gunawan, Ridho Eisy, Dharmawan Harjakusumah (Acil Bimbo), Andri P Kantaprawira, Ganjar Kurnia (eks Rektor Unpad), dan Adji Esha Pangestu. (mg1/drx)

0 Komentar